Sabtu, 19 Januari 2013

Ternyata Cinta memiliki level tersendiri



            Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka hatinya diperbudak oleh sesuatu yang dia cintai itu. Cinta itu menjadi alasan dia untuk mengambil keputusan dan bertindak. Terkadang akal sehat tergerus oleh besarnya abrasi cinta yang menggulung dalam hati seseorang, namun tahukah kita sudah sampai manakah derajat kecintaan kita kepada Dzat yang paling berhak untuk menerima cinta kita? Atau memang pertanyaan itu tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran kita? Atau jangan-jangan cinta kita kepada Allah masih sebatas Cinta yang dangkal? Mari kita cek sudah sampai manakah cinta itu mengalir.
            Cinta sebenarnya memiliki level jika dilihat dari kualitas kecintaan kita pada apa yang kita cintai. Ada yang disebut dengan Terpesona atau Tatayyum, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menggolongkan ini kedalam rasa cinta karena disinilah sesungguhnya mulai pertama kali  muncul keterikatan sang pecinta dengan apa yang dia lihat dari sesuatu yang dia cintai atau mungkin Orang sering menyebutnya dengan jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Pernahkah kita terpesona dengan Allah dan segala keagunganNya? Pernahkah kita merasa bahwa sesuatu yang selama ini kita kagumi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang ada pada Allah? Bahkan apa yang ada pada diri kita pun sangat tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Keagungan Allah, karena jika kita memikirkan lebih dalam, jasad dan ruh kita adalah pemberian dari Allah, pernahkah kita merasakan itu dan timbul dalam perasaan kita bahwa Allah memang memiliki kuasa atas segalanya sehingga muncul PesonaNya dalam hati kita yang mulai menyirami benih-benih cinta kepadaNya. Setelah rasa ini sempurna maka akan datang rasa Shababah atau Suasana hati yang sayu karena rasa ingin bertemu dengan apa yang kita cintai.
            Dari sinilah akan tumbuh sesuatu yang Ibnu Qayyim Al Jauziyyah katakan sebagai Gharaam atau Kecintaan yang mulai menyiksa hati kita ketika kita tidak bisa bertemu dengan apa yang kita cintai itu yaitu Allah. Sebuah kecintaan yang hati kita tidak dapat lepas dari cinta itu dan Cinta itu menjadi kuncian bagi hati kita sehingga memaksa cinta lain untuk tidak bisa masuk karena hati kita sudah terisi. Cinta yang seperti inilah yang sejatinya harus kita curahkan pada Allah bukan dengan gampangnya kita berikan rasa yang luar biasa ini kepada selain Allah. Sebab sesuatu selain Allah tidak akan dapat membalas rasa yang persis sama dengan rasa yang kita kita berikan karena terkadang didalamnya selalu ada motif yang merupakan pertanda ketidaksucian cinta balasan itu.
            Kemudian setelah Gharaam akan muncul rasa ‘Isyq atau semangat dalam mencurahkan cinta karena pesona yang Allah timbulkan itu bersifat kekal tidak seperti pesona-pesona yang lain yang bisa termakan oleh zaman. Rasa ini akan senantiasa menimbulkan semangat untuk menjalankan ibadah dengan tanpa pamrih dari Allah—dengan tidak mengharap surga atau ingin diselamatkan dari siksa neraka—karena motifnya adalah cinta yang menimbulkan pengabdian dari sang pecinta terhadap apa yang dia cintai.
            Rasa ini akan diikuti oleh rasa Syauq atau Kerinduan yang Ibnu Qayyim definisikan sebagai Perjalanan hati sang pecinta kepada apa yang dia cintai, meski jasadnya ada disuatu tempat akan tetapi hatinya senantiasa mencari obat penawar rindu—kepada Allah—yang dia alami, bisa dengan banyak cara tentunya dengan membaca Alqur’an karena itu adalah salah satu cara berdialog dengan Allah, sebab Rasul katakan “Man araada an yatakallama ma’allahi fal yaqrail Qur’an” “Barang siapa yang ingin berbincang-bincang dengan Allah maka bacalah Alqur’an” Mengapa Rasul berkata seperti ini? Karena segala sesuatu yang ingin kita ketahui semuanya termaktub dengan jelas dalam Alqur’an. Ketika kita mentadaburi makna Qur’an maka ada rasa yang tertanam dalam hati kita, rasa tentram, damai, seolah hanya ada kita dan Allah, kita menjadi lebih mudah untuk meneteskan air mata tapi bukan karena cengeng akan tetapi karena ternyata dengan membaca sambil mendalami Kitab Allah yang suci itu kita akan semakin mengetahui sudah sampai manakah posisi kita dalam beribadah sehingga dari situ kita dapat mengetahui betapa teledornya kita dalam menjalankan ibadah kepada Allah.
            Ketika kesadaran ini tumbuh maka akan ada rasa ingin bertemu dengan Allah. Seperti diceritakan dalam sebuah Atsar “Thaala syauqul abraar ilaa wajhika wa anaa ilaa liqaaika asyaddu syauqan” “Betapa panjangnya kerinduan orang-orang yang telah mengerjakan kebaikan kepadaMu akan tetapi aku sangat jauh merindukanMu”. Ini merupakan intisari dari apa yang disampaikan oleh Rasul “Man ahabba liqaallah ahabballahu liqaahu” (Al Hadist) “Barang siapa yang menginginkan bertemu dengan Allah maka Allah pun menginginkan untuk bertemu dengannya” (Al Hadist) dan dengan hadist inilah sebagian ulama ahli ma’rifat menafsirkan sebuah ayat dalam alqur’an yaitu ayat “Waman kaana yarjuu liqaallahi fainna ajalallahi laat” (Al Ankabuut:5) “Barang siapa yang menginginkan pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan oleh Allah itu akan datang” (Al Ankabuut:5). Juga Allah katakan dalam ayat lain bahwa “Man kaana yarjuu liqaa rabbbihi fal ya’mal ‘amala shaalihan walaa yusyrik bi’ibadati rabbihi ahadaa” (Al Kahfi:110) “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka dia harus mengerjakan amal shaleh dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam melakukan ibadah kepada Tuhannya” (Al Kahfi:110).
            Pada hakikatnya semua ibadah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam adalah instrumen untuk senantiasa seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah. Penulis memiliki seorang kawan dan pada suatu saat kami berbincang-bincang, dia membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan “Rid, apa kau tahu bahwa sejatinya setiap mukmin dapat melakukan Mi’raj dan melakukan pertemuan dengan Allah?” penulis pun terheran dan balik bertanya “Lho? Bagaimana bisa?” tapi dia malah balik menimpali “Kenapa tidak?” lalu penulis pun kembali bertanya “Kapankah waktunya itu?” Kawan penulis pun menjawab “Ketika setiap mukmin melakukan shalat maka pada saat itu pula dia sedang melakukan Mi’raj”. Namun tentunya bukanlah sembarang shalat yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya akan tetapi shalat yang khusyuk yang dibarengi dengan mentadaburi setiap bacaan dalam shalat itu serta mencoba menginternalisasikan makna-makna bacaan shalat itu dalam darah daging kita. Allah katakan dalam Alqur’an “Qad aflahal mu’minuuna, alladziina hum fi shalatihim khasyi’uun” (Al Mu’minuun:1-2) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Al Mu’minuun:1-2).
            Inilah pengobat rindu kepada Rabb yang menciptakan kita, ibadah, ibadah, dan ibadah. Anggaplah Qur’an yang suci itu sebagai sebuah kumpulan surat cinta dari kekasih yang berisi perhatian Sang kekasih kepada kita sebab didalamnya berisi larangan kepada kita agar kita tidak melakukan hal yang sifatnya destruktif dan merupakan perintah untuk kita agar melaksanakan hal yang membangun akidah dan kuantitas serta kualitas ibadah yang merupakan perhatian kita kepada Rabb yang menciptakan kita.
            Ketika rasa ini sudah mendarah daging maka seorang hamba akan diam karena Allah, berbicara karena Allah, mendengar karena Allah, memegang karena Allah, berjalan karena Allah. Seluruh perbuatannya dia curahkan hanya karena Allah. Allah menjadi motif dalam diam dan dalam bertindaknya.
            Level cinta pun dalam dilihat dari segi hukum yang menaunginya. Ini disampaikan oleh Syaikh ‘Abdur Rahman Ash Shafuri dalam kitab Nuzhatul Majalis. Beliau mengatakan bahwa Cinta bisa mengandung unsur mubah yaitu mencintai sesama manusia, juga bisa makruh seperti kita mencintai dunia, bisa juga memiliki hukum sunnah yaitu mencintai keluarga bahkan ada yang fardhu yaitu mencintai Allah dan RasulNya dan cinta inilah yang memiliki Tautologi yang kuat karena tidak bisa kita mencintai Allah tanpa kita mencintai Rasul dan tidak bisa kita hanya mencintai Rasul tanpa mencintai Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullahu” (Ali Imran:31) “Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” (Ali Imran:31). Ternyata terdapat syarat dalam kita mencintai Allah yaitu kita harus menaati apa yang diperintahkan oleh rasul dan menjauhi segala apa yang beliau cegah. Mengapa demikian? Sebab segala sesuatu yang beliau perintahkan untuk dikerjakan dan sesuatu yang beliau perintahkan untuk kita jauhi semuanya adalah bersumber dari wahyu Allah karena seorang nabi tidak akan pernah bertindak, berucap, bahkan berkehendak kecuali atas apa yang Allah perintahkan kepadanya. Dalam hal ini Allah katakan dalam Alqur’an “Wamaa yanthiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa” (An Najm:3-4). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (An Najm:3-4). Maka ketika kita menaati apa-apa yang dikatakan rasul maka hakikatnya pada saat itu pula kita sudah menaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah.
            Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa ternyata barang siapa yang memproklamirkan diri bahwa dia mencintai Allah kemudian dia tidak taat kepada rasul maka pada saat yang sama kita sudah bisa mengetahui bahwa Cinta yang selama ini dia gembar-gemborkan ternyata tak lebih dari sekedar dusta belaka. Karena bagaimana pun Cinta membutuhkan pengabdian kepada apa yang dicintai tanpa itu Cinta hanya akan ada dalam baris dan bait puisi untuk bisa dinikmati sebagai penghias bibir. Syaikh Hasan Al Bishri mengatakan bahwa ayat ke 31 dari surat Ali Imran diatas merupakan ujian bagi mereka yang mengaku mencintai Allah. Cinta memang harus diuji untuk mengetahui sampai manakah kadar kecintaan seseorang kepada Allah. Apakah cinta itu masih sebatas Cinta yang dangkal? Atau jika berhasil lulus ujian itu apakah cinta itu sudah dapat digolongkan kedalam Cinta yang dalam? Yang jelas Cinta selalu membutuhkan pembuktian. Ini berarti Tidak ada Cinta yang tak bersyarat.
            Untuk mempertinggi level kecintaan, maka Cinta pun harus dipupuk dan dipelihara. Bagaimanakah caranya? Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Rasa Cinta akan semakin tumbuh dan berkembang apabila kita sering bertemu dengan apa yang kita cintai. Jika premis yang disampaikan seperti ini maka sesungguhnya ada banyak cara untuk kita memupuk rasa cinta kepada Allah, salah satunya adalah dengan apa yang tadi sudah penulis sampaikan diatas bahwa Shalat dapat membawa seorang hamba untuk Mi’raj dan bertemu dengan Allah. Ini berarti dengan memperbanyak shalat kita dapat memupuk rasa cinta kepada Allah karena dengan itu kita dapat sering bertemu dengan Allah, atau contoh lainnya dengan banyak membaca Alqur’an karena seperti penulis katakan diatas bahwa dengan membaca Kitab suci itu berarti kita berbincang-bincang dengan Allah. Maka dengan semakin seringnya kita membaca Alqur’an maka semakin sering pula kita berbincang-bincang dengan Allah dari situlah Cinta kepada Allah akan tumbuh subur dan melembaga didalam darah daging kita sebagai hamba. Tentu tidak hanya dengan dua cara diatas karena masih ada cara-cara yang lain dengan tidak meninggalkan cara ini. Sebab sejatinya seluruh substansi ibadah dalam islam didesaign untuk menciptakan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, hanya berbeda dari segi teknisnya saja karena masing-masing memiliki syarat dan rukun yang sudah diatur oleh aturan Syara’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar