Sabtu, 19 Januari 2013

Memahami Cinta Dalam Perspektif Islam


Cinta berbalas Cinta
            Terkadang Cinta ini jarang dapat dinikmati oleh orang awam. Cinta ini begitu istimewa bagi siapapun yang merasakannya, dunia beserta isinya ini sangat tidak berharga jika seseorang sudah merasakan ni’matnya Cinta ini karena orang tersebut selalu diselimuti rasa rindu untuk menjalani pertemuan dengan Allah atau bahkan seseorang bisa dapat betah hidup didunia dan sangat tidak ingin menghadapi kematian akan tetapi bukan karena Cinta kepada dunia namun karena Dunia baginya adalah tempat paling indah untuk senantiasa beribadah kepada Allah seperti kita ketahui disurga kelak tidak akan ada lagi praktek ibadah karena yang ada hanyalah balasan atas ibadah yang kita lakukan didunia. Begitu betahnya dia berada dalam Maqam ‘Ubudiyyah atau posisi kehambaan yang Allah gelarkan kepada manusia sehingga dia tidak ingin meninggalkan dunia ini.
 Menjalankan Maqam ‘Ubudiyyah sejatinya adalah representasi dari kecintaan kita kepada Allah sehingga ketika seseorang meninggalkan Maqam ini dengan cara apakah dia akan kembali membuktikan Cinta itu? Sayyidina ‘Ali pernah berkata “Mesjid lebih aku sukai dari pada Surga yang Allah berikan”. Kita ketahui bahwa Mesjid merupakan Baitul ‘Ibadah (Rumah Ibadah) berbeda dengan Surga yang merupakan Baitul Jazaa (Rumah Pahala). Rumah Ibadah patut lebih kita sukai karena disanalah tercermin kecintaan kita kepada Allah. Dengan Mesjid pula dapat kita ukur siapakah yang lebih mencintai Allah diantara kita. Berbeda dengan Surga yang Allah berikan kepada orang yang dia kehendaki. Jadi Mesjid adalah Ukuran sedangkan Surga dan Neraka merupakan hasil.
Ketika Cinta kita kepada Allah terwakili dengan seringnya kita mengunjungi Rumah Allah dalam hal ini adalah Mesjid maka Insya Allah hasil yang nantinya kita peroleh adalah hasil yang diridhoi oleh Allah. Cinta Allah balas dengan Cinta. Jika group band ‘Drive’ menyanyikan lagu dengan judul ‘Tak Terbalas’, maka lagu itu tidakk akan pernah berlaku jika kita menerapkan Cinta kepada Allah. Karena bagi Allah tidak akan pernah ada Cinta yang tak terbalas, memang Cinta ini bersyarat yaitu Kita harus berbuat kebaikan, Kita harus senantiasa menjaga kebersihan jasmani dan rohani kita untuk mendapatkan Cinta itu. Cinta yang bukan Cinta yang dangkal, Cinta yang bukan Cinta sesaat, Cinta yang tanpa kepalsuan.
Apa yang penulis katakan disini bukanlah sebuah isapan jempol belaka, akan tetapi didasarkan pada apa yang penulis pahami dalam Alqur’an. Dalam kitabnya yang suci itu Allah mengatakan “Innallaha yuhibbut Tawwaabiina wa yuhibbul Mutathahhiriin” (Al Baqarah:222) “Sesungguhnya Allah mencintai Orang-orang yang bertaubat dan Orang-orang yang mensucikan diri” (Al Baqarah:222). Sesuatu yang memiliki Sifat Ketuhanan ternyata dapat mencintai HambaNya dengan kriteria seperti dalam ayat tersebut. Namun satu yang perlu kita ketahui bahwa Curahan Cinta yang diberikan oleh Allah tentu berbeda dengan Cinta yang biasa dirasakan oleh Makhluk. Cinta Allah kepada MakhlukNya adalah Cinta yang bilaa kaifin atau tidak dapat kita lukiskan secara riil.
Ada syarat untuk kita dapat mendapat Cinta dari Allah. Yaitu terlebih dahulu kita harus bertaqarrub atau mendekatkan diri kita kepadaNya, semacam cari perhatian, jika dibandingkan dengan ketika kita menaruh rasa suka kepada lawan jenis ada istilah ‘Pendekatan’. Penulis pikir ini tidak jauh beda dalam konteks Cinta kepada Allah harus ada ‘Pendekatan’ terlebih dahulu. Hanya bedanya jika dalam mencintai lawan jenis itu peluang untuk cinta kita ditolak pasti ada, namun dalam konteks Cinta kepada Allah hal ini tidak akan terjadi karena Allah tidak akan membuat hambaNya patah hati. Ini Allah katakan dalam Hadist Qudsi, Hadist yang masih merupakan Kalam Allah akan tetapi tidak termasuk dalam Alqur’an maka dari itu Dari segi periwayatannya Hadist Qudsi pun sama seperti Hadist Nabi yaitu diriwayatkan oleh Para Ahli Hadist. Dalam Hadist itu dikatakan “Anaa ‘inda dzanni ‘abdii bii wa anaa ma’ahu idzaa dzakaranii fii nafsihi dzakartuhu fii nafsii wain dzkaranii fii malain dzkartuhu fii malai kahairin minhum wain taqrraba ilayya bisyibrin taqqarrabtu ilaihi dziraa’an wain taqarraba ilaihi dziraa’an taqarrabtu ilaihi baa’an wain ataani yamsyii ataituhu harwalatan” (Hadist Qudsi) “Aku adalah seperti sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatKu, jika dia mengingatKu dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam DiriKu, jika dia mengingatKu dalam sebuah perkumpulan Dzikir maka Aku akan mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari itu, jika dia mendekatiKu sepanjang sejengkal maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu siku, jika dia mendekatiKu sepanjang satu siku maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu depa, jika dia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku akan datang padanya dengan berlari” (Hadist Qudsi). Lihatlah setiap kedekatan kita kepada Allah maka yakinlah Allah lebih dekat dari itu. Jangan pernah merasa bahwa Ibadah yang selama ini kita lakukan sebagai instrumen ‘Pendekatan’ kepada Allah adalah sebuah kerja yang tanpa makna, akan tetapi setiap Ibadah yang kita lakukah sejatinya harus kita pahami sebagai hadiah dari Allah untuk lebih dekat denganNya.
Dalam Hadist Qudsi yang lain dikatakan “Man ‘aada lii waliyyan faqad adzantuhu bil harbi wamaa taqarraba ilaiyya ‘abdi bisyain ahabba ilaiyya mimma iftaradhtuhu ‘alaihi walaa yazaaluu ‘abdii yataqarrabu ilaiyya binnawafil hatta uhibbuhu faidzaa uhibbuhu kuntu sam’ahulladzi yasma’u bihi wabasharahulladzi yubshiru bihi wayadahullatii yabthisyu biha warijluhullatii yamsyii bihaa walain saaltanii laathiannahu walainista’adzanii laudziinnahu” (Hadist Qudsi) “Barang siapa yang memusuhi kekasihKu maka Aku izinkan dia untuk diperangi, dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu kecuali Aku lebih menyukaiNya dari apa yang Aku fardhukan kepadanya, dan tidak putusnya hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan mengerjakan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya, Maka ketika Aku mencintainya jadilah Aku pendengarannya yang dengan itu dia mendengar dan jadilah Aku penglihatannya yang dengan itu dia melihat dan jadilah Aku tangannya yang dengan itu dia meraih dan jadilah Aku kakinya yang dengan itu dia dapat berjalan, Jika dia meminta kepadaKu maka Aku akan berikan apa yang dia minta dan Jika dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku akan melindunginya” (Hadist Qudsi)
Apakah masih kurang sesuatu yang Allah tawarkan bagi mereka yang mencintaiNya? Bayangkan jika kita mencintai sesuatu selain Allah. Apa yang kita dapat? Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang kita cintai itu, jika sesuatu itu benar-benar hilang maka kesedihanlah yang akan menghampiri kita. Jadi jelaslah bahwa Cinta yang dalam adalah mencintai kesejatian Cinta Allah kepada kita. Tidak ada potensi kekecewaan sekecil apapun ketika kita mencoba untuk mencurahkan Cinta kita kepada Allah. Allah berfirman dalam Kitabnya yang suci “Qul nahbithuu minhaa jamii’an faimmaa ya’tiyannakum minnii hudaa faman tabi’a hudaaya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun” (Al Baqarah:38) “Kami berfirman Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjukKu niscaya tidak ada kekhawatiran diatas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (Al Baqarah:38). Ayat ini menceritakan ketika Adam dan Hawa serta Iblis diusir oleh Allah dari Surga, Allah mengatakan bahwa ada obat untuk mengobati kesedihan atas kehilangan surga itu yaitu ketika datang petunjuk Allah maka ikutilah petunjuk itu. Karena Petunjuk dari Allah merupakan obat bagi segala kegundahan yang melanda hati kita. Inilah yang dilakukan oleh Manusia yang masih memiliki pikiran yang waras, berusaha mengikuti petunjuk Allah yang Allah sampaikan melalui Rasul-rasul yang Dia utus. Berbeda dengan apa yang dilakukah oleh iblis, dia selalu tidak mematuhi apa yang Allah perintahkan contohnya ketika Allah menyuruhnya untuk melakukan sujud pada Adam, dengan pongah dan takabbur dia menolaknya dan menganggap dirinyalah yang paling mulia.
Dalam menafsirkan Ayat ini Syaikh Nawawi Al Bantani dalam Tafsirnya yang berjudul Tafsir Munir mengatakan bahwa ‘Kekhwatiran’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi pada diri orang yang taat kepada Allah. Dalam ayat ini Mereka tidak akan pernah mengalami itu. Sedangkan ‘Kesedihan’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah Kesedihan atas apa yang tidak dapat dia raih dari keni’matan dunia, karena dunia baginya hanya persinggahan sementara. Suatu saat dia harus pulang ketempat dimana dia berasal yaitu Kampung Akhirat. Lebih jauh beliau mengatakan bahwa Tidak adanya Kekhawatiran melambangkan sudah berkumpulnya seluruh keselamatan dari segala siksa dan marabahaya yang mungkin akan dilewati oleh setiap hamba diakhirat. Sedangkan hilangnya Kesedihan merupakan bentuk dari Tersampaikannya seorang hamba kepada sesuatu yang menjadi dambaannya. Ini menunjukan bahwa siapapun hamba yang taat kepada Allah dengan segenap kecintaannya maka tidak akan ada Ketakutan dan Kekhawatiran baginya dalam Alam Kubur, ketika dibangkitkan dari Kubur, ketika dihisab, ketika Kitab Amal dibuka, dan ketika melewati jembatan ‘Shirathal Mustaqiim’.
Dalam ayat lain Allah mengatakan “Alaa inna auliyaallahi laa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun, alladziina aamanuu wakaanu yattaquun, lahumul busyraa fil hayaatidunya wafil akhirah laa tabdiila likalimaatillahi dzaalika huwal fauzul ‘adziim” (Yunus:62-64) “Ingatlah bahwa sesungguhnya Kekasih-kekasih Allah itu tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat—janji-janji—Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (Yunus:62-64). Lagi-lagi dalam Kitab Tafsir yang sama, Syaikh Nawawi Al Bantani mengatakan bahwa Disini terdapat Kriteria yang diharuskan bagi siapapun yang ingin mendapat predikat ‘Kekasih Allah’. Yaitu mereka harus beriman atas segala apa yang Allah sampaikan melalui RasulNya, disamping itu mereka juga harus bertaqwa dalam arti sebenar-benarnya Taqwa yang mengharuskan setiap hamba untuk Menjauhi segala bentuk dosa dan membersihkan diri dari segala sesuatu yang dapat memalingkan hati mereka dari Allah, serta harus dibarengi dengan perasaan ikhlas yang sebenar-benarnya Ikhlas kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah sebagai motif dari segala bentuk Ibadah yang mereka lakukan. Bagi mereka yang dapat mencapai prestasi Ibadah seperti ini Allah berikan kompensasi yang nyata yaitu berupa hilangnya rasa takut serta kesedihan mereka atas apa-apa yang tidak dan belum mereka dapatkan. Disamping itu Allah berikan baginya ‘Busyraa’ yang oleh sebagian besar ahli Tafsir diterjemahkan sebagai kabar gembira berupa Kecintaan Manusia lain kepada mereka didunia. Yang lain menafsirkannya sebagai Impian yang menjadi kenyataan. Ada juga yang menafsirkan sebagai berita gembira yang disampaikan oleh Malaikat ketika mereka menghadapi Kematian. Yang lain menafsirkannya sebagai Kegembiraan yang dialami setiap hamba ketika menerima Buku Catatan Amal dengan tangan kanannya.
Dalam Kitab Tafsirnya yang berjudul Tafsir Qur’anul ‘Adziim atau lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ismail bin Katsir mengetengahkan banyak Hadist dalam mengomentari Busyraa ini dengan berbagai jalur Riwayat yang berbeda namun Penulis hanya akan menyampaikan satu Hadist saja. “Inna Risaalah wan nubuwwah qad inqatha’at falaa rasuula min ba’dii walaa nabiyya” Fasyaqqa ‘alannaas Faqaala “Walaakinnal Mubasysyiraat” Qaluu Yaa Rasulallah Wamal Mubasysyiraat faqaala “Ru’yaar rajulil muslimi wahiya juzun min ajzaainnubawwah” (Al Hadist) “Sesungguhnya Risalah dan Kenabian sudah terputus” kemudian perkataan Nabi itu menjadikan para sahabat menjadi gusar Rasul pun berkata “Akan tetapi ada ‘Mubasysyiraat” Para sahabat kemudian bertanya apa itu Mubasysyiraat. Rasul pun menjawab “Itu adalah impian seorang muslim yang menjadi nyata, dan itu adalah bagian dari banyak bagian yang menyusun Kenabian” (Al Hadist). Inilah yang akan Allah berikan bagi mereka yang ingin menjadi ‘Kekasih Allah’ atau lebih dikenal dengan Waliyullah.
 Cinta terbalas Cinta adalah ungkapan yang tepat untuk melukiskan uraian diatas yaitu ketika kita sebagai hamba mencurahkan cinta suci kita kepada Allah dengan menggunakan segenap waktu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah maka sudah menjadi keniscayaan Allah akan membalas cinta itu dengan berbahagai hal yang tak pernah kita duga. Dalam hal ini Allah berkata “Waman yattaqillaha yaj’al lahuu makhraja, wayarzuqhu min hitsu laa yahtasib waman yatawakkal ‘alalahu fahuwa hasbuhu innallaha baalighu amrihii qad ja’alallahu likulli syaiin qadraa” (At Thalaaq:2-3) “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan jadikan baginya jalan keluar dari segala urusan. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan segala kebutuhannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakinya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ukuran bagi setiap sesuatu” (At Thalaaq:2-3). Ini merupakan jaminan dari Allah bagi siapapun yang bertekad untuk menjalankan ketaqwaan yang dilandasi Cinta kepada Allah dalam hidupnya. Maka dia tidak usah khawatir dan bersedih karena segala sesuatunya telah diatur oleh Allah. Jadi tunggu apa lagi? Cepatlah curahkan Cinta kita kepada Dzat yang pantas menerimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar