Senin, 18 Februari 2013


Pudarnya Pesona Cleopatra
Judul Buku                 : Pudarnya Pesona Cleopatra
Penulis                        : Habiburrahman El Shirazy
Tahun Terbit             : 2005
Cetakan ke/tahun     : 2005
Penerbit                     : Republika
Jumlah Halaman        : 108

Novel karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Yang saya dapatkan,  novel ini membuat saya mengubah sudut pandang dalam menilai seseorang, menilai seseorang tak hanya dari indahnya paras wajah yang seolah memalingkan dunia, tetapi menilai seseorang lebih indah bila dari hati yang suci bersih.
Dan dari novel ini saya dapat mengambil hikah bahwa “janganlah menyia-nyiakan sesuatu atau seseorang, karena sesal dan sakit akan terasa jika sesuatu itu telah hilang atau seseorang itu telah tiada” ini mengajari kita untuk menganggap kehadiran seseorang disekitar bahkan disamping kita, agar kita mempunyai sikap peduli dan jangan sampai memiliki sikap acuh tak acuh, bahkan jangan sampai jika sikap kita menggores lembutnya hati bahkan berbekas seumpama paku yang menancap di dinding, walaupun telah dicabut tetap menimbulkan bekas.
Novel Pudarnya Pesona Cleopatra baik dibaca oleh siapapun yang berharap dan menginginkan tak tertipu oleh keindahan yang semu tapi berharap dan menginginkan mendapatkan keindahan yang hakiki.


Sabtu, 19 Januari 2013

Pendahuluan Memahami Cinta Dalam Perspektif Islam ,



Bagi sebagian orang kata ‘Cinta’ bisa membawa mereka berselancar dalam ombak melankolisme dan seolah semua lagu yang berbau cinta dapat menjadi soundtrack hidup mereka, akan tetapi penulis tidak termasuk kedalam sebagian orang itu. Mungkin dikarenakan penulis kurang peduli terhadap hal yang bersifat roman picisan. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Cinta itu? Sayangnya tidak ada satu pun disiplin ilmu yang mampu memberikan definisi tentang apa itu cinta. Kalaupun ada itu hanya ada dalam Ilmu Tashawuf dan itu pun hanya berupa pendekatan yang coba dilakukan oleh para Shufi yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang kentara.  Menurut penulis ini dikarenakan ‘Cinta’ adalah sebuah realita empirik yang memiliki tingkat subjektifitas yang begitu tinggi sehingga masing-masing individu memiliki interpretasi tersendiri terhadap makhluk yang bernama ‘Cinta’ itu.
Begitu luar biasanya Cinta itu sampai-sampai dapat menjadi ‘sihir’ bagi siapapun yang mengalaminya. Seorang yang bermental preman mendadak bisa menjadi melow karena sihir itu. Kalau penulis meminjam istilah Gombloh, dia mengatakan “Jika Cinta sudah melekat, Tai kotok terasa coklat”. Jika kita mengejar istilah Gombloh itu dengan menggunakan logika, maka kita akan timbul pertanyaan dalam benak kita bahwa “Lho? Mengapa bisa seperti itu? Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda? Lantas mengapa bisa mempunyai rasa yang sama?” mungkin dari sini kita dapat menarik sebuah pemahaman bahwa Cinta adalah sugesti yang berada diluar logika. Ketika bicara Cinta maka logika terpinggirkan. Benarkah demikian? Kalau begitu persis dengan sebuah judul lagu yang dibawakan oleh penyanyi Agnes Monica “Tak ada Logika”
Lantas bisakah kita bermain Cinta dengan menggunakan Logika? Mengapa Tidak? Jangan hanya karena mengatasnamakan cinta kemudian kita terperangkap dalam suasana yang malah kontraproduktif terhadap kehidupan kita sebagai manusia. Misalnya karena putus cinta atau Kita menyatakan cinta pada seseorang namun Dayung itu tak bersambut—Dengan kata lain ditolak—Kemudian kita berasumsi seolah dunia ini sudah berakhir. Hi come on! Life must go on. Inilah yang menurut penulis adalah salah satu dampak negatif Cinta yang berlebihan kepada Makhluk. Mencintai sesuatu yang belum tentu membalas Cinta kita dan kalau pun membalas terkadang tidak disertai ketulusan atau hanya menyajikan “Status Palsu” bagi kita seperti sebuah Lagu yang dinyanyikan oleh Vidi Aldiano. Lantas kepada siapakah kita harus mencinta dan kita sudah mendapat jaminan bahwa cinta kita akan terbalas?.
Ada Sang Pecinta sejati. Meskipun yang Dia cintai tidak mencintai Dia tapi Dia tetap mencinta. Dia tidak mengurangi jumlah hembusan nafas mereka walaupun mereka tidak mencintaiNya. Dia tidak mengurangi takaran rejeki mereka walaupun mereka tidak membuktikan kesetiaan kepadaNya. Dia tidak cepat marah walaupun mereka banyak berpaling dariNya. Dia tidak lekas cemburu walaupun hamba yang Dia cintai lebih mempedulikan selainNya. Dia selalu membuka pintu maaf bagi hamba yang ingin kembali padaNya dan menyimpan kembali Cinta yang seharusnya itu pada tempatnya.
Dialah Allah yang apabila kita menaruh rasa cinta tulus kita kepadaNya, Dia tidak akan pernah menolaknya. Dia yang selalu membalas Cinta hambaNya lebih besar dari yang hambaNya berikan. Dia adalah Penawar dikala hati gundah dan Penabur kalbu dikala hati rindu. Dia adalah tempat mengadu jika hidup terasa tak syahdu. Dia selalu setia meski terkadang banyak hamba yang mengaku mencintaiNya malah mengkhianatiNya. Dialah Allah Tuhan semesta alam yang mengadakan kita dari ketiadaan. Dialah Allah Rabb sejati.

Kepada siapakah aku harus berikan Cinta ini?



            Disadari atau tidak, Kebanyakan dari kita hari ini ternyata lebih memposisikan Allah sebagai “Kekasih yang tak dianggap”. Kita lebih mencintai diri kita, Kita lebih mencintai pasangan kita, Kita lebih mencintai pekerjaan kita, Kita lebih memilih mencintai sesuatu selainNya ketimbang berusaha mencurahkan seluruh Cinta yang kita miliki kepadaNya. Padahal sesungguhnya jika kita mencoba untuk memahami realita yang sebenarnya, maka Aktor Utama dalam eksistensi diri kita adalah Allah. Dia yang membuat kita menjadi ada. Logikanya Adalah suatu Kewajiban bagi kita untuk lebih memprioritaskan Cinta kita kepada Sesuatu yang membuat kita ada ketimbang kita mencintai sesuatu selainNya.
            Dalam Kitab Jawaabul Kaafii karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dikatakan bahwa Kita tidak akan pernah bisa menyatukan antara Cinta kepada Allah dan Cinta kepada selain Allah. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Sebab Allah katakan dalam Alqur’an “Maa ja’lalahu lirajulin min Qalbaini fii jaufih” (Al Ahzab:4) “Tidaklah Allah menciptakan dua hati dalam dada seseorang” (Al Ahzab:4). Hati manusia yang satu itu terlalu sempit untuk dapat diisi oleh dua hal. Ketika Cinta harus memilih. Maka dia harus memilih antara Allah atau selain Allah. Namun pernyataan ini hendaknya jangan diartikan sebagai gerakan anti menikah atau anti terhadap pekerjaan akan tetapi harus dipahami bahwa Kita harus menikah namun janganlah cinta kita kepada pasangan melebihi cinta kepada Yang menciptakan pasangan kita, janganlah cinta kita kepada pekerjaan melebihi cinta kepada Yang memberikan pekerjaan kepada kita yaitu Allah. Yang dimaksud oleh penulis adalah Hubb Thabi’i atau Cinta Tabiat yang merupakan sesuatu yang mubah—seperti cinta kita kepada lawan jenis, cinta kepada pekerjaan, atau cinta kita kepada diri kita sendiri—sejatinya tidak boleh melebihi Hubb Syar’i atau Cinta Syara’ yang merupakan kewajiban—seperti cinta kepada Allah dan cinta kepada Rasul—
            Porsi Cinta Tabiat tidak diperkenankan melebihi porsi Cinta Syara’ dikarenakan Allah katakan dalam Alqur’an “Innallaha laa yaghfiruu an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzalika liman yasyaa” (An Nisaa:48) “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukanNya dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi orang yang Dia kehendaki” (An Nisaa:48). Penulis menganggap bahwa ‘menyekutukan’ disini juga termasuk dalam menyekutukan Cinta kepadaNya. Kita sebagai makhluk yang keberadaan kita adalah atas prakarsa dari Allah maka tidaklah pantas apabila kita menduakan Cinta kita kepada selain Allah. Yang harus kita lakukan sebagai balas budi kepada Dia yang dengan cinta kasihNya membuat kita dari nothing  menjadi something adalah dengan mentauhidkan cinta kita kepadaNya. Haram bagi kita membuat tandingan cinta-cinta yang lain. Dalam ayat lain Allah katakan “Waminan naasi man yattakhidzu min duunillahi andaada yuhibbuunahum kahubbillah walladziina aamanuu asyaddu hubban lillah” (Al Baqarah:168) “Dari sebagian manusia itu ada mereka yang menjadikan kepada selain Allah sebagai tandingan-tandingan kepada Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah dan orang-orang yang beriman adalah amat sangat mencintai Allah” (Al Baqarah:168).
            Jelaslah bahwa apabila kita masih ingin tergolong kepada golongan orang beriman. Maka konsekuensi logisnya adalah mau tidak mau kita harus menempatkan Cinta kepada Allah diatas Cinta kepada segalanya. Kita tempatkan Cinta kepada selain Allah cukup sewajarnya saja. Tak perlu kecewa apabila pada suatu saat yang kita cintai selain Allah itu pergi meninggalkan kita. Toh dia adalah makhluk yang tidak memiliki dimensi kesempurnaan. Bukankah kita memiliki Yang Maha Sempurna, Yang Maha Indah, Yang Maha Tunggal. Dialah Allah yang meski kita berbuat dosa Dia tidak mengurangi jatah nafas kita dalam sehari-harinya.
            Sangat pantas apabila prioritas cinta kita adalah Allah. Karena sebenarnya Dialah cinta pertama seluruh makhluk yang ada dijagat raya ini. Sebelum satu makhluk mengenal makhluk yang lain, sesuatu yang pertama kali dia kenal adalah Allah. Allah katakan ketika Dia mengambil anak Adam dalam bentuk seperti semut dari tulang belakang Nabi Adam dalam kitabnya yang suci itu “Waidz akhadznaa rabbuka min banii aadama min dzuhuurihim dzurriyyatahum waasyhadahum ’alaa anfusihim alastu birabbikum qaaluu balaa syahidnaa” (Al A’raaf:172). “Dan (ingat) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka seraya Allah berkata ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab ‘Benar Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi’. (Al A’raaf:172). Sangatlah logis apabila kita apabila kita lebih mencintai Tuhan kita dan tidak menjadikan sesuatu selainNya sebagai Tuhan yang kita puja.
Orang mengatakan Cinta pertama itu sulit dilupakan, jika premis ini benar lantas Mengapa dengan gampangnya kita lupakan Cinta pertama kita? Sejatinya Allah adalah cinta sejati kita sedangkan kita semua tahu bahwa Sesuatu yang bernama Cinta sejati itu mengharuskan kita untuk setia terhadap cinta itu. Setiap Cinta yang selain kepada Cinta yang sejati itu akan berakibat kelanggengan dalam kesengsaraan.
Cinta Tabiat yang contohnya penulis sampaikan pada halaman pertama makalah ini, akan membunuh Cinta yang lebih memiliki manfaat dari Cinta Tabiat maka Kiranya adalah Wajib bagi kita untuk memilih satu diantara dua cinta itu. Tabiat atau Syar’i? jika kita berpaling dari Cinta kepada Allah maka Allah akan memberikan kita sebuah adzab yaitu dengan menanamkan Cinta kepada selainNya dalam hati kita dan akibat dari ‘Cinta Terlarang’ itu bisa kita temui didunia atau pun diakhirat kelak. Siksa itu dapat berupa Allah menyiksa kita dengan menjadikan kita Pecinta Berhala atau Pecinta Api atau Pecinta Wanita atau Pecinta Dosa atau pun Cinta lain yang derajatnya begitu hina dimata Allah. Karena sejatinya Manusia adalah budak dari apa yang dia cintai. Begitu kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Jawaabul Kaafii. Pilih mana? Menjadi budak Tuhan atau budak selainNya? Allah katakan dalam Al qur’an “Afaraita man ittakhadza ilaahahu hawaahu waadhallahullahu ‘ala ‘ilmin wakhatama ‘alaa sam’ihi waqalbihi waja’ala ‘alaa basharihi ghisyaawah faman yahdiihi min ba’dillahi afalaa tadzakkaruun (Al Jaatsiyah:23) “Apakah engkau pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah membuatnya sesat. Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran” (Al Jaatsiyah:23). Orang yang memilih selain cinta kepada Allah sama saja dengan mereka yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka barang siapa yang Cinta Syar’inya lebih besar dari Cinta Tabiat maka dia akan berhasil dalam mengendalikan Cinta yang kedua itu atau sesuatu yang lain yang diakibatkan oleh Cinta itu serta sesuatu yang dapat mengantarnya kepada Cinta itu. Dalam hidupnya tak akan pernah ada Cinta buta terhadap sesuatu selain Allah. Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki istri, Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki pekerjaan, Penulis tidak melarang pembaca untuk menjadi orang kaya. Akan tetapi maksud penulis adalah jangan sampai kepemilikan kita terhadap istri, kepemilikan kita terhadap pekerjaan, dan kepemilikan kita terhadap kekayaan menjadi penghalang dalam Cinta kita kepada Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu Laa tulhikum amwalukum walaa auladukum ‘an dzikrillahi waman yaf’al dzalika faulaaika humul khaasiruun” (Al Munaafiquun:9). “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barang iapa yang berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi”. (Al Munaafiquun:9)
Maksud dari ayat ini adalah jangan sampai ada dominasi Cinta kepada selain Allah atas cinta pada Allah. Sesuatu yang bersifat profan semisal harta dan keluarga tidak boleh mendapat porsi yang lebih besar dihati kita daripada sesuatu yang bersifat kekal. Cinta yang terkontaminasi Cinta lain adalah tidak dapat dikategorikan kedalam Cinta yang suci. Dan sejatinya Cinta suci itu kita persembahkan untuk Allah semata. Akan tetapi berbeda konteksnya ketika kita berbicara Cinta karena Allah. Yaitu kita menaruh Cinta yang lain dihati kita tapi masih dalam koridor Cinta kepada Allah semisal Cinta kita kepada Rasul atau Cinta kepada Malaikat atau pun Cinta kepada Kitab Allah. Cinta-cinta yang demikian sejatinya kita bungkus dengan Cinta kepada Allah. Mengapa demikian? Jawabannya karena Allah pun mencintai mereka. Misalnya Jika kita mencintai seseorang maka kita pun harus belajar mencintai apa yang dia cintai, contohnya saja dia memiliki hobi menonton film romantis maka kita harus belajar untuk menyukai hal yang sama. Premis ini berlaku atas Cinta kita kepada Allah. Karena Itu adalah Cinta dijalan Allah dan karena Allah.
Penulis ingin mengetengahkan hadist yang termaktub dalam Kitab Jawaabul Kaafii. “Tsalatsun man kunna fiihi wajada bihinna halawatal iiman: An yakuunallahu wa rasuuluhu ahabba ilaihi minma siwaahuma. Wa anyuhibbul mar’a layuhibbuha illa lillahi. Wa anyukraha anyarji’a ilalkufri ba’da an qadahullahu minhu kama yukrahu an yuqdafa finnari” (Al Hadist). “Ada tiga sikap yang bagi siapapun yang berada dalam sikap seperti itu maka dia akan menemukan kelezatan iman: Allah dan RasulNya harus lebih dicintai dari selain mereka, Harus mencintai dan tidak mencintai karena Allah, Harus tidak menyukai untuk kembali berada dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak menyukai untuk dilemparkan kedalam api” (Al Hadist).
Dalam hadist diatas tersirat bahwa Kita boleh mencintai sesuatu selain Allah selagi sesuatu itu tidak menarik kita kedalam kekafiran dan juga kekufuran karena dua hal itu malah akan mengikis Cinta kita kepada Allah. Cinta sewajarnya adalah porsi yang pantas untuk Cinta kepada selain Allah. Dan Cinta dengan sepenuh hati adalah Cinta yang seharusnya kita persembahkan untuk Rabb yang menciptakan kita. Termasuk didalamnya adalah cinta kita kepada lawan jenis atau pasangan kita. Sampai-sampai Ibnu Qayyim Al Jauziyah  mengatakan bahwa “Mahabbatun Nisaa min kamalil insan” “Mencintai wanita adalah bagian dari kesempurnaan seorang Lelaki”. Artinya adalah sesuatu yang lumrah apabila dalam hati seorang laki-laki timbul ‘cinta birahi’ terhadap seorang wanita. Karena jika laki-laki mencintai laki-laki adalah suatu hal yang abnormal dan jika kita kaitkan dengan ucapan Ibnu Qayyim maka itu adalah simbol ketidaksempurnaan. Namun tentunya segala hal yang menyangkut Cinta itu harus berada dalam koridor agama untuk mengejawantahkannya,
Cinta yang masih dalam batas kewajaran kepada sesuatu selain Allah sejatinya dapat dijadikan sebagai instrumen dalam berma’rifat kepada Allah, ini dapat dilakukan dengan cara menyadari bahwa dalam sesuatu yang kita cintai itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Misalnya saja ketika seorang suami yang mencintai istrinya suatu saat memandang wajah istrinya yang cantik itu kemudian berkata “Subhanallah Yang telah menciptakan keindahan dalam diri istriku, sesuatu yang Kau ciptakan ini sudah sangat indah apalagi Engkau Yang menciptakan semua ini, Tentu keindahanMu tiada bandingan”. Itu adalah satu contoh saja, Coba kita sadari bahwa dalam setiap sesuatu yang kita cintai dan bahkan yang tidak kita cintai, pasti selalu ada aktor utama sekaligus sutradara merangkap produser. Dialah Allah. 

Ada apa sajakah dalam cinta itu?



            Dalam cinta terdapat beberapa unsur yang menyusunnya. Ibnu Qayyim Al jauziyyah  menyampaikannya secara gamblang dalam kitabnya jawaabul kafii. Unsur yang dimaksud itu adalah cinta selalu meninggalkan bekas dalam hati, cinta selalu memiliki implikasi, cinta selalu memiliki ketergantungan, dan cinta pun memiliki hukum atau aturan. Semua unsur itu bisa terpuji ataupun tercela, bisa bermanfaat atau pun malah menimbulkan mudharat karena bisa berupa rasa, kenikmatan merasakan rasa itu, bisa juga berupa rasa rindu, dan merasa nyaman ketika berada dengan sesuatu yang kita cintai, merasa begitu ingin bertemu ketika yang kita cintai jauh dari kita, Terkadang ada rasa ingin berpaling dan pergi, suka cita dan kesenangan atau malah duka cita dan rasa merana. Inilah unsur yang menyusun cinta yang mungkin semuanya sudah pernah kita alami karena tendensinya tentang cinta pada selain Allah yang menjadikan kebanyakan orang begitu gandrung untuk membahasnya.
            Lebih jauh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa Cinta yang terpuji adalah cinta yang bermanfaat yang dapat membawa Sang Pecinta kepada sesuatu yang bermanfaat baginya didunia dan akhirat. Maka dari itu kita jangan sampai salah dalam menitipkan cinta kita. Titipkanlah cinta kita pada pribadi yang pantas yang dapat bekerja sama dengan kita dalam meraih kebahagiaan didunia hari ini maupun kelak diakhirat. Misalnya saja cinta kepada Allah yang didasari oleh fondasi ketauhidan yang kuat sehingga sampai mendarah daging dan tercipta kegandrungan hati dalam mencintai Allah. Atau pun dalam memilih pasangan hidup, ikhtiar mutlak harus kita lakukan agar tidak terjadi ketimpangan dalam hidup kita. Kita harus berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan siapakah yang berhak menerima cinta kita. Cinta inilah yang menjadi indikasi kebahagiaan seseorang.
            Cinta yang tercela adalah cinta yang membawa Sang pecinta kepada kemudharatan didunia dan diakhirat. Cinta kepada dunia adalah salah satu darinya, cinta ini merusak cinta kita kepada Allah yang sejatinya merupakan fitrah kita sebagai manusia sejati. Untuk apa kita terjerumus dalam cinta yang hina ini jika toh akhirnya dapat merusak fitrah kita. Contoh lainnya semisal kegandrungan dalam mencintai lawan jenis pun dapat merusak cinta kita pada Allah karena hati kita yang sempit itu didukuki oleh sesuatu yang seharusnya tidak berada disitu. Cinta seperti ini menciptakan kebingungan yang luar biasa pada Sang Pecinta dalam menjalaninya dan kesengsaraan setelah menjalaninya, maka tidak usahlah kita mencoba-coba cinta yang ini karena Cinta ini adalah indikasi celakanya Sang Pecinta.
            Tentunya orang yang masih mengaku dirinya waras tidak akan memilih cinta yang akan membuatnya masuk dalam lembah kesengsaraan. Disinilah dibutuhkan kejernihan hati dan pikiran serta ketenangan jiwa untuk melawan hawa nafsu yang senantiasa menarik kita pada cinta yang hina ini. Jangan sampai logika dan hati terseret nafsu berkepanjangan sehingga tentara logika dihancurkan oleh tentara nafsu, sebab Motif yang mendasari cinta ini jika tidak I’tiqad yang buruk adalah hawa nafsu yang tercela. Maka dari itu sejatinya setiap manusia harus memiliki Manajemen Cinta dan Manajemen Hati yang baik.
            Uraian diatas menyampaikan kepada kita bahwa Implikasi setiap Cinta bergantung kepada pada siapakah kita menitipkan dan mengejawantahkan cinta kita ini. Jika kita mencurahkan cinta kita kepada sesuatu yang rapuh maka yang terjadi adalah akibat-akibat yang akan membawa kemudharatan kepada kita dan begitu pun sebaliknya jika kita mencurahkan cinta kita kepada sesuatu yang kuat dan kekal maka kemanfaatan dari segenap penjuru akan menghampiri kita.

Ternyata Cinta memiliki level tersendiri



            Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka hatinya diperbudak oleh sesuatu yang dia cintai itu. Cinta itu menjadi alasan dia untuk mengambil keputusan dan bertindak. Terkadang akal sehat tergerus oleh besarnya abrasi cinta yang menggulung dalam hati seseorang, namun tahukah kita sudah sampai manakah derajat kecintaan kita kepada Dzat yang paling berhak untuk menerima cinta kita? Atau memang pertanyaan itu tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran kita? Atau jangan-jangan cinta kita kepada Allah masih sebatas Cinta yang dangkal? Mari kita cek sudah sampai manakah cinta itu mengalir.
            Cinta sebenarnya memiliki level jika dilihat dari kualitas kecintaan kita pada apa yang kita cintai. Ada yang disebut dengan Terpesona atau Tatayyum, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menggolongkan ini kedalam rasa cinta karena disinilah sesungguhnya mulai pertama kali  muncul keterikatan sang pecinta dengan apa yang dia lihat dari sesuatu yang dia cintai atau mungkin Orang sering menyebutnya dengan jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Pernahkah kita terpesona dengan Allah dan segala keagunganNya? Pernahkah kita merasa bahwa sesuatu yang selama ini kita kagumi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang ada pada Allah? Bahkan apa yang ada pada diri kita pun sangat tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Keagungan Allah, karena jika kita memikirkan lebih dalam, jasad dan ruh kita adalah pemberian dari Allah, pernahkah kita merasakan itu dan timbul dalam perasaan kita bahwa Allah memang memiliki kuasa atas segalanya sehingga muncul PesonaNya dalam hati kita yang mulai menyirami benih-benih cinta kepadaNya. Setelah rasa ini sempurna maka akan datang rasa Shababah atau Suasana hati yang sayu karena rasa ingin bertemu dengan apa yang kita cintai.
            Dari sinilah akan tumbuh sesuatu yang Ibnu Qayyim Al Jauziyyah katakan sebagai Gharaam atau Kecintaan yang mulai menyiksa hati kita ketika kita tidak bisa bertemu dengan apa yang kita cintai itu yaitu Allah. Sebuah kecintaan yang hati kita tidak dapat lepas dari cinta itu dan Cinta itu menjadi kuncian bagi hati kita sehingga memaksa cinta lain untuk tidak bisa masuk karena hati kita sudah terisi. Cinta yang seperti inilah yang sejatinya harus kita curahkan pada Allah bukan dengan gampangnya kita berikan rasa yang luar biasa ini kepada selain Allah. Sebab sesuatu selain Allah tidak akan dapat membalas rasa yang persis sama dengan rasa yang kita kita berikan karena terkadang didalamnya selalu ada motif yang merupakan pertanda ketidaksucian cinta balasan itu.
            Kemudian setelah Gharaam akan muncul rasa ‘Isyq atau semangat dalam mencurahkan cinta karena pesona yang Allah timbulkan itu bersifat kekal tidak seperti pesona-pesona yang lain yang bisa termakan oleh zaman. Rasa ini akan senantiasa menimbulkan semangat untuk menjalankan ibadah dengan tanpa pamrih dari Allah—dengan tidak mengharap surga atau ingin diselamatkan dari siksa neraka—karena motifnya adalah cinta yang menimbulkan pengabdian dari sang pecinta terhadap apa yang dia cintai.
            Rasa ini akan diikuti oleh rasa Syauq atau Kerinduan yang Ibnu Qayyim definisikan sebagai Perjalanan hati sang pecinta kepada apa yang dia cintai, meski jasadnya ada disuatu tempat akan tetapi hatinya senantiasa mencari obat penawar rindu—kepada Allah—yang dia alami, bisa dengan banyak cara tentunya dengan membaca Alqur’an karena itu adalah salah satu cara berdialog dengan Allah, sebab Rasul katakan “Man araada an yatakallama ma’allahi fal yaqrail Qur’an” “Barang siapa yang ingin berbincang-bincang dengan Allah maka bacalah Alqur’an” Mengapa Rasul berkata seperti ini? Karena segala sesuatu yang ingin kita ketahui semuanya termaktub dengan jelas dalam Alqur’an. Ketika kita mentadaburi makna Qur’an maka ada rasa yang tertanam dalam hati kita, rasa tentram, damai, seolah hanya ada kita dan Allah, kita menjadi lebih mudah untuk meneteskan air mata tapi bukan karena cengeng akan tetapi karena ternyata dengan membaca sambil mendalami Kitab Allah yang suci itu kita akan semakin mengetahui sudah sampai manakah posisi kita dalam beribadah sehingga dari situ kita dapat mengetahui betapa teledornya kita dalam menjalankan ibadah kepada Allah.
            Ketika kesadaran ini tumbuh maka akan ada rasa ingin bertemu dengan Allah. Seperti diceritakan dalam sebuah Atsar “Thaala syauqul abraar ilaa wajhika wa anaa ilaa liqaaika asyaddu syauqan” “Betapa panjangnya kerinduan orang-orang yang telah mengerjakan kebaikan kepadaMu akan tetapi aku sangat jauh merindukanMu”. Ini merupakan intisari dari apa yang disampaikan oleh Rasul “Man ahabba liqaallah ahabballahu liqaahu” (Al Hadist) “Barang siapa yang menginginkan bertemu dengan Allah maka Allah pun menginginkan untuk bertemu dengannya” (Al Hadist) dan dengan hadist inilah sebagian ulama ahli ma’rifat menafsirkan sebuah ayat dalam alqur’an yaitu ayat “Waman kaana yarjuu liqaallahi fainna ajalallahi laat” (Al Ankabuut:5) “Barang siapa yang menginginkan pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan oleh Allah itu akan datang” (Al Ankabuut:5). Juga Allah katakan dalam ayat lain bahwa “Man kaana yarjuu liqaa rabbbihi fal ya’mal ‘amala shaalihan walaa yusyrik bi’ibadati rabbihi ahadaa” (Al Kahfi:110) “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka dia harus mengerjakan amal shaleh dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam melakukan ibadah kepada Tuhannya” (Al Kahfi:110).
            Pada hakikatnya semua ibadah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam adalah instrumen untuk senantiasa seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah. Penulis memiliki seorang kawan dan pada suatu saat kami berbincang-bincang, dia membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan “Rid, apa kau tahu bahwa sejatinya setiap mukmin dapat melakukan Mi’raj dan melakukan pertemuan dengan Allah?” penulis pun terheran dan balik bertanya “Lho? Bagaimana bisa?” tapi dia malah balik menimpali “Kenapa tidak?” lalu penulis pun kembali bertanya “Kapankah waktunya itu?” Kawan penulis pun menjawab “Ketika setiap mukmin melakukan shalat maka pada saat itu pula dia sedang melakukan Mi’raj”. Namun tentunya bukanlah sembarang shalat yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya akan tetapi shalat yang khusyuk yang dibarengi dengan mentadaburi setiap bacaan dalam shalat itu serta mencoba menginternalisasikan makna-makna bacaan shalat itu dalam darah daging kita. Allah katakan dalam Alqur’an “Qad aflahal mu’minuuna, alladziina hum fi shalatihim khasyi’uun” (Al Mu’minuun:1-2) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Al Mu’minuun:1-2).
            Inilah pengobat rindu kepada Rabb yang menciptakan kita, ibadah, ibadah, dan ibadah. Anggaplah Qur’an yang suci itu sebagai sebuah kumpulan surat cinta dari kekasih yang berisi perhatian Sang kekasih kepada kita sebab didalamnya berisi larangan kepada kita agar kita tidak melakukan hal yang sifatnya destruktif dan merupakan perintah untuk kita agar melaksanakan hal yang membangun akidah dan kuantitas serta kualitas ibadah yang merupakan perhatian kita kepada Rabb yang menciptakan kita.
            Ketika rasa ini sudah mendarah daging maka seorang hamba akan diam karena Allah, berbicara karena Allah, mendengar karena Allah, memegang karena Allah, berjalan karena Allah. Seluruh perbuatannya dia curahkan hanya karena Allah. Allah menjadi motif dalam diam dan dalam bertindaknya.
            Level cinta pun dalam dilihat dari segi hukum yang menaunginya. Ini disampaikan oleh Syaikh ‘Abdur Rahman Ash Shafuri dalam kitab Nuzhatul Majalis. Beliau mengatakan bahwa Cinta bisa mengandung unsur mubah yaitu mencintai sesama manusia, juga bisa makruh seperti kita mencintai dunia, bisa juga memiliki hukum sunnah yaitu mencintai keluarga bahkan ada yang fardhu yaitu mencintai Allah dan RasulNya dan cinta inilah yang memiliki Tautologi yang kuat karena tidak bisa kita mencintai Allah tanpa kita mencintai Rasul dan tidak bisa kita hanya mencintai Rasul tanpa mencintai Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullahu” (Ali Imran:31) “Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” (Ali Imran:31). Ternyata terdapat syarat dalam kita mencintai Allah yaitu kita harus menaati apa yang diperintahkan oleh rasul dan menjauhi segala apa yang beliau cegah. Mengapa demikian? Sebab segala sesuatu yang beliau perintahkan untuk dikerjakan dan sesuatu yang beliau perintahkan untuk kita jauhi semuanya adalah bersumber dari wahyu Allah karena seorang nabi tidak akan pernah bertindak, berucap, bahkan berkehendak kecuali atas apa yang Allah perintahkan kepadanya. Dalam hal ini Allah katakan dalam Alqur’an “Wamaa yanthiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa” (An Najm:3-4). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (An Najm:3-4). Maka ketika kita menaati apa-apa yang dikatakan rasul maka hakikatnya pada saat itu pula kita sudah menaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah.
            Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa ternyata barang siapa yang memproklamirkan diri bahwa dia mencintai Allah kemudian dia tidak taat kepada rasul maka pada saat yang sama kita sudah bisa mengetahui bahwa Cinta yang selama ini dia gembar-gemborkan ternyata tak lebih dari sekedar dusta belaka. Karena bagaimana pun Cinta membutuhkan pengabdian kepada apa yang dicintai tanpa itu Cinta hanya akan ada dalam baris dan bait puisi untuk bisa dinikmati sebagai penghias bibir. Syaikh Hasan Al Bishri mengatakan bahwa ayat ke 31 dari surat Ali Imran diatas merupakan ujian bagi mereka yang mengaku mencintai Allah. Cinta memang harus diuji untuk mengetahui sampai manakah kadar kecintaan seseorang kepada Allah. Apakah cinta itu masih sebatas Cinta yang dangkal? Atau jika berhasil lulus ujian itu apakah cinta itu sudah dapat digolongkan kedalam Cinta yang dalam? Yang jelas Cinta selalu membutuhkan pembuktian. Ini berarti Tidak ada Cinta yang tak bersyarat.
            Untuk mempertinggi level kecintaan, maka Cinta pun harus dipupuk dan dipelihara. Bagaimanakah caranya? Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Rasa Cinta akan semakin tumbuh dan berkembang apabila kita sering bertemu dengan apa yang kita cintai. Jika premis yang disampaikan seperti ini maka sesungguhnya ada banyak cara untuk kita memupuk rasa cinta kepada Allah, salah satunya adalah dengan apa yang tadi sudah penulis sampaikan diatas bahwa Shalat dapat membawa seorang hamba untuk Mi’raj dan bertemu dengan Allah. Ini berarti dengan memperbanyak shalat kita dapat memupuk rasa cinta kepada Allah karena dengan itu kita dapat sering bertemu dengan Allah, atau contoh lainnya dengan banyak membaca Alqur’an karena seperti penulis katakan diatas bahwa dengan membaca Kitab suci itu berarti kita berbincang-bincang dengan Allah. Maka dengan semakin seringnya kita membaca Alqur’an maka semakin sering pula kita berbincang-bincang dengan Allah dari situlah Cinta kepada Allah akan tumbuh subur dan melembaga didalam darah daging kita sebagai hamba. Tentu tidak hanya dengan dua cara diatas karena masih ada cara-cara yang lain dengan tidak meninggalkan cara ini. Sebab sejatinya seluruh substansi ibadah dalam islam didesaign untuk menciptakan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, hanya berbeda dari segi teknisnya saja karena masing-masing memiliki syarat dan rukun yang sudah diatur oleh aturan Syara’.

Klasifikasi Cinta



            Anggaplah bagian ini sebagai rangkuman dari apa yang telah penulis sampaikan diatas dan Masih dengan referensi yang sama dari Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam karyanya yang berjudul Jawaabul Kaafii. Beliau mengatakan bahwa Cinta terbagi menjadi lima dan bagi mereka yang tidak dapat membedakan diantaranya akan salah dalam menempatkan kepada siapakah Cinta harus kita curahkan. Macam-macam Cinta itu adalah sebagai berikut:
Ø  Cinta kepada Allah. Dan ini tidaklah cukup karena Umat nonMuslim pun seperti Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa mereka mencintai Allah padahal pada prakteknya Yahudi malah meninggalkan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Musa dengan tidak mengakui Nabi Isa sebagai Nabi yang diutus oleh Allah dan menuduhnya sebagai anak hasil perzinahan. Sementara itu Umat Nashrani yang mengklaim dirinya sebagai penganut ajaran Nabi Isa yang taat malah beribadah kepada kayu salib. Jelaslah bahwa ini adalah penyimpangan yang dilakukan secara komunal dan sistematis dan sebetulnya mereka tidak layak untuk melakukan klaim Cinta kepada Allah karena dalam mengejawantahkan Cinta itu mereka malah menyimpang dari ajaran Rasul-rasul Allah yang Allah utus untuk memurnikan Akidah dan Cinta kepadaNya.
Ø  Cinta kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah. Seperti yang telah penulis katakan pada uraian sebelumnya bahwa Untuk mencintai sesuatu, kita harus mencintai sesuatu yang dicintai oleh sesuatu yang kita cintai. Islam adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah maka kita pun harus menjalani cinta kepada Allah dengan menjalani cinta kepada Islam. Allah katakan dalam Alqur’an “Innaddiina ‘indallahil islam” (Ali Imran:19) “Sesungguhnya Agama yang dicintai oleh Allah adalah islam” (Ali Imran:19). Dan orang yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang dapat beristiqamah dalam islam.
Ø  Cinta karena Allah dan dijalan Allah. Ini merupakan bentuk Cinta yang menjadi syarat atau kemestian dari Cinta kepada sesuatu yang Allah cintai, sebab Cinta kepada sesuatu yang Allah cintai tidak akan pernah tegak tanpa Cinta karena Allah dan dijalan Allah. Artinya Cinta kepada yang Allah cintai itu terbungkus dalam bingkai Cinta kepada Allah. Ini penting sebab jika tidak dalam bingkai mencintai Allah maka akan terjadi Cinta yang berikutnya yaitu
Ø  Cinta yang menandingi Cinta kepada Allah. Ini merupakan Cinta yang mengakibatkan ‘Syirik’, sebab porsi Cinta kepada selain Allah sudah sama dengan Cinta kepada Allah. Misalnya saja Kecintaan kaum Musyrikin kepada berhala-berhala yang mereka sembah, sejatinya mereka mencintai Allah dan mengakui eksistensiNya akan tetapi perlakuan mereka kepada berhala-berhala itu telah menjadikannya tandingan cinta kepada Allah. Maka barang siapa yang mencintai beserta Allah dan bukan karena Allah maka sejatinya mereka sudah membuat tandingan cinta kepada Allah.
Ø  Cinta Tabiat. Merupakan Cinta manusia kepada sesuatu yang cocok dengan Tabiatnya. Contohnya saja Cintanya orang yang sedang kehausan kepada Air, Cintanya seorang yang sedang kelaparan kepada makanan atau pun Cinta seorang manusia kepada lawan jenisnya. Cinta ini tidaklah tercela asalkan tidak mengakibatkan Si Manusia itu lalai dalam Mengingat Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu Laa tulhikum amwaalukum walaa aulaadukum ‘an dzikrillahi” (Al Munaafiquun:9) “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta dan keluarga kalian membuat kalian lalai dari mengingat Allah” (Al Munaaafiquun:9).

Cinta ini membunuhku ???



            Cinta yang membunuh adalah Cinta yang mendorong Sang Pecinta kepada sebuah keadaan yang sarat dengan nuansa melankolisme. Ini terjadi ketika akal beserta instrumen logika yang tersedia dalam diri kita sudah tumpul dalam menghadapi realita cinta yang ada. Ini juga disebabkan karena diri kita tidak memiliki back up ketika suasana yang tidak mengenakan datang menghampiri. Back up yang penulis maksud adalah Tauhid Cinta kepada Allah, sebab hanya ketauhidanlah yang dapat menangkal kejahiliyahan dan keghaflahan hati seorang hamba ketika terjungkal kedalam keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Dalam nuansa melankolisme yang begitu menggebu dalam mencintai lawan jenis tidaklah memiliki manfaat sedikit pun baik dalam aspek keduniaan maupun agama, sebab suasana kebatinan seperti ini dapat mengakibatkan produktifitas kita sebagai manusia menjadi jauh berkurang. Mengapa? Jawabannya sebagai berikut:
            Menggebu-gebunya hati kita dalam mencintai lawan jenis mengakibatkan kesibukan dalam hal memikirkan dia yang kita pikirkan daripada kita mencoba untuk mengkonsentrasikan pikiran kita untuk berma’rifat kepada Allah. Akibatnya adalah Hati dan pikiran kita menjadi penuh oleh satu hal yang sebenarnya tidak perlu. Ingatlah bahwa Allah tidak menciptakan dua hati dalam dada seorang manusia, ketika Hati kita sudah ditempati oleh satu hal maka niscaya hal lain tidak akan dapat memasukinya. Disinilah akan muncul kegandrungan yang membuat kita malas untuk melakukan apapun bahkan untuk makan pun akan terasa berat. Apakah suasana seperti ini yang kita inginkan untuk menghiasi hidup kita? Maka siapakah yang lebih pantas? Allah ataukah sesuatu selain Allah?.
            Ketika hati kita sedang menggebu dalam mencintai seseorang maka sebenarnya pada saat yang sama Allah sedang menyiksa hati kita. Sebab dalam hati kita sudah masuk Cinta kepada selain Allah. Maka barang siapa yang dalam hatinya sudah masuk Cinta kepada selain Allah tidak bisa tidak Cintanya itu merupakan siksa bagi hatinya. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Semangat mencintai selain Allah meskipun yang mencintai itu merasakan sensasi cinta yang luar biasa maka pada hakikatnya dia sedang menjalani siksaan hati yang paling berat.
            Tahukah Anda bahwa Orang yang sedang memiliki rasa menggebu-gebu dalam mencintai lawan jenis pada hakikatnya dia memiliki derajat yang hina? Akan tetapi karena Asyiknya menikmati rasa itu, dia tidak menyadari posisi derajatnya. Bagaimana tidak hina?, seseorang yang sudah diperbudak oleh Cinta kepada selain Allah sejatinya dia sudah tidak lagi menjadi hamba Allah. Mana yang lebih mulia? Hamba Allah ataukah Hamba selain Allah? Hati seseorang yang begitu bersemangat dalam mencintai selain Allah tak lebih bagai seekor burung kecil yang berada dalam genggaman seorang anak yang sedang bermain.
            Rasa menggebu dalam mencintai lawan jenis juga dapat mengakibatkan tertinggalnya kita dalam mencapai tujuan hidup. Bagaimana tidak? Karena tujuan hidupnya menjadi pendek, Life is only for Love. Tidak ada sesuatu yang lebih merusak kebaikan dunia dan akhirat dari pada Cinta ini. Cinta ini mengakibatkan kita memikirkan hal yang tidak perlu dan belum saatnya sehingga muncul kebingungan yang luar biasa tentang bagaimana mencapai angan-angan yang belum saatnya itu. Dari sinilah kemudian pikiran dan hati kita bercabang sehingga tidak dapat fokus pada satu prioritas hidup.
            Selain itu, Siksa dunia dan Siksa akhirat akan mudah menghampiri orang yang begitu memberikan prioritas Cinta kepada makhluk dari pada Cinta kepada Allah. Cobaan ini dalam menghantam mereka yang lebih mencintai sesuatu selain Allah seperti yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah adalah seperti Kayu yang kering dilemparkan kedalam nyala api yang membara. Apa sebabnya? Karena sesungguhnya Hati ketika dekat dengan Cinta yang menggebu kepada selain Allah maka pada saat yang sama Hati itu menjauh dari Allah, sejauh-jauhnya hati adalah hati yang berpaling pada sesuatu selain Allah. Ketika Hati itu jauh dari Allah maka datanglah siksa dari berbagai arah dalam hidupnya.
            Dengan Cinta seperti ini Hati seorang manusia akan rusak karena jauh dari fithrah yang sesungguhnya. Karena jauh dari fithrahnya maka hati akan mudah dimasuki oleh Waswas atau keragu-raguan dan godaan dalam segala hal yang ditimbulkan oleh Syaithan. Ketika ini terjadi maka Akal orang itu akan rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Sementara sesuatu yang paling mulia yang terdapat dalam diri manusia adalah akalnya karena dengan akal itulah Manusia dapat dibedakan dengan Hewan. Maka jika akalnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi lantas apa bedanya Manusia yang seperi itu dengan Hewan. Bahkan terkadang Hewan lebih baik dari Manusia yang kehilangan akalnya.
            Percayakah Anda bahwa Cinta yang seperti ini juga dapat merusak panca indera? Hal ini ditegaskan oleh Rasul “Hubbuka syaii yu’maa wa yashummu” (Al Hadist) “Cintamu terhadap sesuatu dapat membutakan dan membuat tuli” (Al Hadist). Jadi terkadang kita melihat sesuatu yang jelek dari apa yang kita cintai tapi karena kecintaan yang berlebihan itu kita menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, sikap kita tidak lagi objektif dalam menilai sesuatu jika motifnya adalah Cinta kepada selain Allah. Mengapa demikian? Karena jika hati kita sudah rusak, maka rusak pulalah mata, telinga, dan lisan kita. Kecintaan yang sangat, dapat menutup hati kita dan mencegah kita untuk dapat melihat sesuatu yang sebenarnya. Dari itu Wahai Saudaraku! Mari kita tata kembali jikalau ada dalam hati kita sebuah Cinta yang salah, sebuah Cinta yang menjadikan kita meninggalkan Cinta yang seharusnya.

Menikah ataukah Melajang?



            Apakah menikah dapat dikategorikan sebagai sebuah pengkhianatan Cinta kepada Allah? Tentu saja tidak, sebab sejatinya Cinta kepada Allah dan Cinta kepada makhluk yang direpresentasikan dalam pernikahan adalah range yang berbeda. Yang pertama adalah Cinta makhluk kepada KhalikNya dan Yang kedua merupakan Cinta makhluk kepada makhluk yang tidak menjadikan dosa asalkan tidak mengancam posisi Cinta kepada Allah. Hanya saja ketika kita harus memilih antara Menikah atau Melajang, manakah yang harus kita prioritaskan?
            Dalam hal ini Sayyid Bakri Al Makii mengatakan dalam syarahnya terhadap Kitab Hidayatul Adzkiyaa yang beliau beri nama Kifaayatul Atqiyaa Minhajul Ashfiyaa, bahwa ketika kita tidak dapat menemukan sosok pasangan yang tidak dapat menolong kita untuk mencintai dan taat kepada Allah maka pada saat itu kita harus lebih memilih untuk melajang. Sebab ketika pasangan kita tidak mampu untuk melakukan itu maka nantinya dia akan jadi penghalang cinta kita kepada Allah. Dalam hal ini Rasul mengatakan “Man razaqullahu imraatan shalihatan faqad a’anahu ‘ala syathra diinihi” (Al Hadist) “Barang siapa yang oleh Allah diberi rejeki dengan diberikan pasangan wanita shalihah—jika wanita diberikan rejeki pria shaleh—maka Allah telah menolong setengah agamanya (Al Hadist). Malah Syaikh Abu Sulaiman Ad Daraani mengatakan bahwa Wanita yang shalehah bukan merupakan bagian dari dunia dikarenakan dia akan dapat menenggelamkan pasangannya dalam kehidupan akhirat.
            Diskursus mengenai keutamaan Menikah atau Melajang pun menarik perhatian beberapa Mujtahid Mutlak yang diantaranya adalah Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Imam Syafi’i mengatakan bahwa Melajang dalam pengertian untuk lebih memprioritaskan diri dalam mengerjakan ibadah sunnah adalah lebih utama dari pada Menikah sebab menurut beliau Menikah adalah bagian dari perkara mubah dan bukan bagian dari ibadah. Akan tetapi Imam Hanafi mengatakan bahwa Menikah lebih utama dari pada melajang sebab menurut beliau itu merupakan ibadah karena didalamnya ada maksud untuk memperbanyak keturunan dan Umat Islam. Dan untuk menengahi perbedaan pendapat ini Imam Ghazali mengatakan dalam Kitabnya yang fenomenal Ihyaa ‘Ulumuddiin bahwa sebenarnya dalam mengukur utama atau tidaknya Melajang atau Menikah adalah sesuai situasi dan kondisi. Ketika seseorang sudah mampu untuk mencari rejeki yang halal, sudah mampu untuk membiayai pernikahan, dan sudah mengetahui pengetahuan yang cukup tentang kehidupan berumah tangga, dapat sabar dalam menghadapi pasangan, pasangan yang dia miliki tidak dapat menolehkannya dari Cinta kepada Allah, maka ketika kriteria ini sudah ada, pada saat itu pula Menikah lebih utama baginya. Namun ketika salah satu diantaranya belum terpenuhi maka baginya Melajang lebih utama.     
            Artinya Menikah bukanlah sesuatu yang dilarang sepanjang tidak mengalihkan Cinta kita kepada Allah, sebab sejatinya pernikahan adalah lembaga sosial yang diorientasikan untuk memupuk Cinta kita kepada Sang Khalik. Meskipun Cinta pada awalnya adalah pondasi dalam membangun sebuah mahligai pernikahan akan tetapi jangan sampai Cinta itu mendominasi Cinta kita kepada Allah. 

Tentang Yusuf dan Zulaikha



           Hari ini kita melihat satu hal yang ironis bahwa Umat islam ternyata lebih tertarik kepada kisah Romeo dan Juliet atau pun Kisah Cinta Tragedi yang diperankan oleh Kate Winslet dan Leonardo DeCaprio dalam sebuah film terlaris sepanjang masa yaitu ‘Titanic’. Padahal jauh sebelum kisah itu ada, Islam memiliki kisah nyata Cinta yang penuh dengan ketauladanan yang dialami oleh Nabi Yusuf. Kisah ini Allah abadikan dalam Kitabnya yang suci yaitu Alqur’an.
            Kisah ini berawal ketika Nabi Yusuf diselamatkan dari gelapnya sumur—yang  kedalamnya Nabi Yusuf dilemparkan oleh saudara-saudaranya—oleh rombongan saudagar yang melintas dan berusaha mengambil air dari sumur itu. Rombongan Saudagar itu kemudian menjual Nabi Yusuf kepada seorang Menteri bernama Qithfir yang berada dibawah pemerintahan Raja Mesir ketika itu yang bernama Rayyan bin Malik. Saat itu Nabi Yusuf berusia tujuh belas tahun. Qithfir berkata pada istrinya yang bernama Zulaikha “Berikanlah layanan dan perlakuan yang baik kepada Yusuf, Mudah-mudahan saja dia bisa kita manfaatkan atau bisa kita jadikan sebagai anak”. Ini dia katakan karena dia tidak memiliki anak karena mandul.
            Pada suatu ketika disaat Qithfir sedang tidak ada dirumah, dan dirumah hanya ada Zulaikha dan Yusuf. Zulaikha tidak bisa sabar dengan ketampanan luar biasa yang dimiliki oleh Yusuf dan dia mengajak Yusuf untuk melakukan hubungan yang tidak seharusnya dilakukan oleh dua orang yang bukan mahram. Zulaikha menutup semua pintu dan berkata pada Yusuf “Kemarilah wahai Yusuf”. Yusuf pun menjawab “Aku berlindung kepada Allah dari apa yang engkau ajak kepadaku, Tuanku telah memperlakukanku dengan baik dan Aku tidak mungkin mengkhianatinya”. Kemudian Zulaikha memaksa Yusuf dan Yusuf pun sesungguhnya memiliki rasa, karena Tabiat Kemanusiaan yang dimilikinya bukan karena dia ingin melakukan hal kotor itu. Maka dari itu dalam Kitab Tafsir Munir, Syaikh Nawawi Al Bantani mengatakan bahwa Maksud Hati itu terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah Maksud Hati yang tetap yaitu jika didalamnya terdapat niat yang kuat untuk melakukan suatu dosa dan dibarengi dengan rasa ridho dan pasrah dalam hati, Maksud Hati inilah yang pada saat itu dimiliki oleh Zulaikha, seseorang yang memiliki Maksud Hati seperti ini sudah masuk kedalam Dosa. Yang kedua adalah Maksud Hati yang tidak disengaja yaitu bisikan hati yang timbul bukan karena niat sebelumnya. Inilah yang dialami oleh Nabi Yusuf ketika diajak oleh Zulaikha untuk melakukan hal yang tidak senonoh. Seseorang yang memiliki bisikan seperti ini tidak masuk dalam dosa kecuali bisikan itu diucapkan atau dilakukan.
            Ketika rasa ini timbul dalam benak Nabi Yusuf, maka Allah menolong Nabi Yusuf dengan mengirimkan Wahyu yang mengatakan Kejelekan dan Dosa sebuah Perzinahan. Ini menunjukan dipeliharanya para Nabi dari segenap Dosa yang menghampiri kebanyakan Manusia. Nabi Yusuf mencoba menghindar dari ajakan Zulaikha dengan berlari kearah pintu, namun Zulaikha tidak membiarkannya lolos begitu saja. Mereka saling berlomba menuju pintu dan pada saat yang sama Qithfir ternyata sudah berada didepan pintu, Zulaikha dengan wajah tanpa dosa berkata pada Qithfir “Apa balasan bagi orang yang ingin berbuat serong kepada keluargamu? Tidak lain adalah penjara atau siksa yang pedih”, seraya melempar kesalahan pada Nabi Yusuf. Nabi Yusuf pun mencoba membela diri dengan menimpali dengan halus apa yang dikatakan oleh Zulaikha pada Qithfir, “Beliau lah yang memaksaku untuk melakukan hal itu dan ada seorang saksi dari keluarga beliau”. Saksi yang dimaksud oleh Nabi Yusuf adalah seorang bayi yang baru berusia dua bulan yang Allah berikan kemampuan berbicara kepadanya.
            Saksi itu berkata “jika baju Yusuf sobek dari depan maka Zulaikha berkata benar dan Yusuf termasuk sebagian dari orang-orang yang berbohong. Akan tetapi jika baju Yusuf sobek dari belakang maka Yusuf berkata benar dan Zulaikha termasuk kedalam orang-orangyang berbohong”. Ternyata setelah diperiksa Baju Nabi Yusuf sobek dari belakang yang merupakan bekas tarikan dari Zulaikha ketika Yusuf berusaha kabur darinya. Qithfir pun berkata “Wahai Yusuf! Janganlah kau ceritakan kejadian ini kepada orang lain. Dan kau Wahai Zulaikha! Bertaubatlah atas dosa yang telah kau lakukan”
            Tanpa disadari Tersiarlah kejadian diistana Qithfir itu kepada masyarakat luas. Sehingga hal itu menjadi buah bibir setiap orang yan mendengarnya, terutama para wanita yang mengatakan bahwa Zulaikha telah dibutakan oleh Cinta. Ketika Zulaikha mendengar perkataan mereka, dia pun segera memanggilnya dan menyediakan kursi beserta makanan dan pisau. Ketika para Wanita itu sedang asyik mengiris buah-buahan dan daging, Zulaikha memanggil Nabi Yusuf dengan nada sedikit berteriak “Wahai Yusuf! Keluarlah kamu!” Ketika Yusuf keluar maka mereka kagum akan keelokan rupanya dan tanpa terasa memotong jari tangannya seraya berkata “Maha Sempurna Allah ini bukanlah manusia melainkan malaikat yang mulia”. Maka berkatalah Zulaikha “Itulah yang karenanya kalian malah mencelaku. Aku telah menggodanya untuk takluk pada keinginanaku tapi dia menolak. Dan jika dia menolak apa yang aku inginkan maka niscaya aku akan memasukannya kedalam penjara dan dia masuk kedalam golongan orang-orang yang hina” Nabi Yusuf menjawab perkataan itu seraya berdo’a “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada ajakan mereka kepadaku”.
            Lihatlah bukannya Nabi Yusuf tidak menyukai Zulaikha, akan tetapi ketika Cinta itu membawa kita kedalam kema’siatan maka tinggalkanlah. Berlindunglah kepada Allah dari Cinta seperti ini. Tak lama setelah itu Yusuf pun dimasukan kepenjara sebagai bentuk perlindungan yang diinginkan olehnya dari wanita-wanita yang menginginkan untuk melakukan perbuatan tidak senonoh kepadanya, meskipun pada kenyataannya dipenjarakannya beliau adalah atas rencana jahat Zulaikha. Begitulah Cinta buta, ketika keinginan kita terhadap apa yang kita cintai tidak terpenuhi maka terkadang cinta itu berbalik benci.
Dalam penjara itulah dia bertemu dengan dua orang yang dipenjarakan atas tuduhan meracuni raja. Yang satu adalah seorang pelayan yang biasa memeras anggur dan Yang lain adalah seorang pelayan yang biasa mengantarkan roti untuk makanan Sang Raja. Pada suatu malam Pelayan yang biasa memeras Anggur bermimpi memeras Anggur sedangkan Pelayan yang biasa mengantarkan roti untuk raja bermimpi menaruh roti diatas kepalanya dan roti itu dimakan oleh burung gagak. Mereka pun lantas menanyakan arti dari masing-masing mimpi itu kepada Nabi Yusuf karena beliau selama dipenjara terkenal alim dan rajin beribadah. Nabi Yusuf pun menafsirkan mimpi, mimpi pelayan yang memeras Anggur akan jadi kenyataan atau dia akan dapat kembali memeras angggur lagi untuk raja, atau dengan kata lain dia akan terbebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya sedangkan mimpi orang yang biasa mengantarkan roti untuk raja bermakna bahwa dia akan disalib dan kepalanya akan dipatuki oleh burung-burung gagak yang berarti dialah yang bersalah dan berniat untuk meracuni raja.
Tak lama setelah itu Yusuf pun berpesan pada Pelayan yang biasa memeras anggur—karena menurut Takmil mimpi beliau dialah yang akan selamat dari tuduhan—untuk menitipkan pesan kepada Raja bahwa dalam penjara ada seorang pemuda yang dipenjarakan karena kedzaliman orang lain dan bukan atas kesalahan yang diperbuatnya, Pemuda itu adalah Nabi Yusuf sendiri. Akan tetapi setelah pelayan itu bebas ternyata dia lupa akan pesan yang diamanatkan oleh Nabi Yusuf. Maka tinggalah Yusuf dalam penjara itu selama tujuh tahun.
Dua tahun setelah pelayan itu bebas—sebelumnya Nabi Yusuf sudah dipenjara selama lima tahun—Raja Rayyan bin Walid bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh sapi betina yang kurus dan tujuh bulir gandum berwarna hijau sedangkan tujuh lainnya kering. Raja pun memanggil segenap pemuka negeri dan berkata “Terangkanlah kepadaku tentang Takbir mimpi ini jika kalian dapat menakbirkan mimpi” Lantas mereka menjawab “Itu adalah mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak dapat menakbirkan mimpi”. Maka berkatalah pelayan yang selamat itu “Aku akan menceritakan kepadamu orang yang pandai menakbirkan mimpi maka utuskan aku kepadanya”
Kemudian pelayan itu dipertemukan dengan Nabi Yusuf dan berseru “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum hijau dan gandum kering agar aku dapat kembali pada orang-orang itu agar mereka dapat mengetahui”. Yusuf berkata “Supaya kalian bertanam tujuh tahun lamanya maka apa yang kamu tuai hendaknya kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan, kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit yang menghabiskan apa yang kaliann simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari gandum yang kamu simpan. Maka setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia mendapat hujan dan dimasa itu mereka memeras anggur.”
Setelah mendengar paparan Takbir mimpi yang disampaikan Nabi Yusuf melalui pelayan itu, Raja pun merasa penasaran dan sangat ingin bertemu dengan Yusuf. Melalui pelayan itu pula Raja memerintahkan supaya Yusuf dibawa kehadapannya. Akan tetapi Nabi Yusuf malah berkata “Bagaimanakah halnya Wanita-wanita yang telah melukai tangannya? Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka” Raja kemudian mengumpulkan mereka dan menginterogasinya dengan bertanya “Bagaimana keadaan kalian saat kalian menggoda Yusuf untuk menundukan dirinya?”. Mereka berkata “Maha Sempurna Allah kami tidak mengetahui sesuatu keburukan darinya” Zulaikha pun berkata “Sekarang jelaslah kebenaran itu akulah yang menggodanya agar menundukan dirinya kepadaku dan sesungguhnya dia termasuk kepada orang-orang yang benar.” Yusuf berkata “Yang demikian itu adalah supaya Qithfir mengetahui bahwa aku tidak berkhianat kepadanya dibelakangnya dan bahwa sanya Allah tidak menyukai tipu daya orang-orang yang berkhianat” Zulaikha berkata “Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Allah—seperti nafsu Nabi Yusuf—sesungguhnya Tuhanku Maha pengampun lagi Maha Penyayang”
Raja pun berkata “Bawalah Yusuf kepadaku agar aku bisa menjadikannya orang yang dekat denganku, Sesungguhnya hari kamu menjadi orang yang berkedudukan yang tinggi lagi dipercaya disisi kami.” Nabi Yusuf berkata “jadikanlah aku Menteri Pertanian sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” Mulai saat itu Nabi Yusuf menjadi Menteri sekaligus orang kepercayaan Raja Rayyan bin Walid. Akan tetapi tak lama setelah itu Qithfir, suami dari Zulaikha sekaligus Ayah angkat Nabi Yusuf meninggal dunia. Dan kemudian Yusuf menikahi Zulaikha. Pada saat menikahi Zulaikha, Yusuf berkata kepadanya “Bukankah ini lebih baik dari apa yang dulu kau inginkan dariku” dan Zulaikha pun berkata “Duhai orang yang terpercaya janganlah kau mencelaku seperti itu, sesungguhnya aku adalah Wanita yang cantik jelita seperti yang kau lihat, akan tetapi suamiku yang dulu tidak pernah menyentuhku sekalipun dari itulah aku tergoda oleh ketampananmu. Akan tetapi Allah memeliharamu dari dosa yang tercela”. Yusuf dan Zulaikha dikaruniai dua orang anak Ifrayim dan Maisya, kemudian Ifrayim memiliki anak yang bernama Nuun yang menjadi ayah dari Yuusya’, yang sebelum diangkat jadi Nabi sempat  menemani Nabi Musa mencari Nabi Khidhir.
Silahkan Anda ambil hikmah yang ada Antara Cinta Yusuf dan Zulaikha. Rela dipenjara agar selamat dari dosa dan fitnah serta demi mendapat Cinta yang Halal dan bukan Cinta Terlarang seperti yang ditawarkan Zulaikha diawal kisah ini. Mungkin jika penulis ada diposisi Nabi Yusuf diawal kisah ini maka penulis tidak akan bisa lepas dari ajakan itu. Perlu anda ketahui bahwa Kisah ini adalah Kisah Nyata bukan Fiksi atau Drama Roman Picisan. Seluruh dialog yang ada dalam kisah diatas penulis kutip dari Alqur’an, Kitab Allah yang tidak mungkin berbohong.

Memahami Cinta Dalam Perspektif Islam


Cinta berbalas Cinta
            Terkadang Cinta ini jarang dapat dinikmati oleh orang awam. Cinta ini begitu istimewa bagi siapapun yang merasakannya, dunia beserta isinya ini sangat tidak berharga jika seseorang sudah merasakan ni’matnya Cinta ini karena orang tersebut selalu diselimuti rasa rindu untuk menjalani pertemuan dengan Allah atau bahkan seseorang bisa dapat betah hidup didunia dan sangat tidak ingin menghadapi kematian akan tetapi bukan karena Cinta kepada dunia namun karena Dunia baginya adalah tempat paling indah untuk senantiasa beribadah kepada Allah seperti kita ketahui disurga kelak tidak akan ada lagi praktek ibadah karena yang ada hanyalah balasan atas ibadah yang kita lakukan didunia. Begitu betahnya dia berada dalam Maqam ‘Ubudiyyah atau posisi kehambaan yang Allah gelarkan kepada manusia sehingga dia tidak ingin meninggalkan dunia ini.
 Menjalankan Maqam ‘Ubudiyyah sejatinya adalah representasi dari kecintaan kita kepada Allah sehingga ketika seseorang meninggalkan Maqam ini dengan cara apakah dia akan kembali membuktikan Cinta itu? Sayyidina ‘Ali pernah berkata “Mesjid lebih aku sukai dari pada Surga yang Allah berikan”. Kita ketahui bahwa Mesjid merupakan Baitul ‘Ibadah (Rumah Ibadah) berbeda dengan Surga yang merupakan Baitul Jazaa (Rumah Pahala). Rumah Ibadah patut lebih kita sukai karena disanalah tercermin kecintaan kita kepada Allah. Dengan Mesjid pula dapat kita ukur siapakah yang lebih mencintai Allah diantara kita. Berbeda dengan Surga yang Allah berikan kepada orang yang dia kehendaki. Jadi Mesjid adalah Ukuran sedangkan Surga dan Neraka merupakan hasil.
Ketika Cinta kita kepada Allah terwakili dengan seringnya kita mengunjungi Rumah Allah dalam hal ini adalah Mesjid maka Insya Allah hasil yang nantinya kita peroleh adalah hasil yang diridhoi oleh Allah. Cinta Allah balas dengan Cinta. Jika group band ‘Drive’ menyanyikan lagu dengan judul ‘Tak Terbalas’, maka lagu itu tidakk akan pernah berlaku jika kita menerapkan Cinta kepada Allah. Karena bagi Allah tidak akan pernah ada Cinta yang tak terbalas, memang Cinta ini bersyarat yaitu Kita harus berbuat kebaikan, Kita harus senantiasa menjaga kebersihan jasmani dan rohani kita untuk mendapatkan Cinta itu. Cinta yang bukan Cinta yang dangkal, Cinta yang bukan Cinta sesaat, Cinta yang tanpa kepalsuan.
Apa yang penulis katakan disini bukanlah sebuah isapan jempol belaka, akan tetapi didasarkan pada apa yang penulis pahami dalam Alqur’an. Dalam kitabnya yang suci itu Allah mengatakan “Innallaha yuhibbut Tawwaabiina wa yuhibbul Mutathahhiriin” (Al Baqarah:222) “Sesungguhnya Allah mencintai Orang-orang yang bertaubat dan Orang-orang yang mensucikan diri” (Al Baqarah:222). Sesuatu yang memiliki Sifat Ketuhanan ternyata dapat mencintai HambaNya dengan kriteria seperti dalam ayat tersebut. Namun satu yang perlu kita ketahui bahwa Curahan Cinta yang diberikan oleh Allah tentu berbeda dengan Cinta yang biasa dirasakan oleh Makhluk. Cinta Allah kepada MakhlukNya adalah Cinta yang bilaa kaifin atau tidak dapat kita lukiskan secara riil.
Ada syarat untuk kita dapat mendapat Cinta dari Allah. Yaitu terlebih dahulu kita harus bertaqarrub atau mendekatkan diri kita kepadaNya, semacam cari perhatian, jika dibandingkan dengan ketika kita menaruh rasa suka kepada lawan jenis ada istilah ‘Pendekatan’. Penulis pikir ini tidak jauh beda dalam konteks Cinta kepada Allah harus ada ‘Pendekatan’ terlebih dahulu. Hanya bedanya jika dalam mencintai lawan jenis itu peluang untuk cinta kita ditolak pasti ada, namun dalam konteks Cinta kepada Allah hal ini tidak akan terjadi karena Allah tidak akan membuat hambaNya patah hati. Ini Allah katakan dalam Hadist Qudsi, Hadist yang masih merupakan Kalam Allah akan tetapi tidak termasuk dalam Alqur’an maka dari itu Dari segi periwayatannya Hadist Qudsi pun sama seperti Hadist Nabi yaitu diriwayatkan oleh Para Ahli Hadist. Dalam Hadist itu dikatakan “Anaa ‘inda dzanni ‘abdii bii wa anaa ma’ahu idzaa dzakaranii fii nafsihi dzakartuhu fii nafsii wain dzkaranii fii malain dzkartuhu fii malai kahairin minhum wain taqrraba ilayya bisyibrin taqqarrabtu ilaihi dziraa’an wain taqarraba ilaihi dziraa’an taqarrabtu ilaihi baa’an wain ataani yamsyii ataituhu harwalatan” (Hadist Qudsi) “Aku adalah seperti sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatKu, jika dia mengingatKu dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam DiriKu, jika dia mengingatKu dalam sebuah perkumpulan Dzikir maka Aku akan mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari itu, jika dia mendekatiKu sepanjang sejengkal maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu siku, jika dia mendekatiKu sepanjang satu siku maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu depa, jika dia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku akan datang padanya dengan berlari” (Hadist Qudsi). Lihatlah setiap kedekatan kita kepada Allah maka yakinlah Allah lebih dekat dari itu. Jangan pernah merasa bahwa Ibadah yang selama ini kita lakukan sebagai instrumen ‘Pendekatan’ kepada Allah adalah sebuah kerja yang tanpa makna, akan tetapi setiap Ibadah yang kita lakukah sejatinya harus kita pahami sebagai hadiah dari Allah untuk lebih dekat denganNya.
Dalam Hadist Qudsi yang lain dikatakan “Man ‘aada lii waliyyan faqad adzantuhu bil harbi wamaa taqarraba ilaiyya ‘abdi bisyain ahabba ilaiyya mimma iftaradhtuhu ‘alaihi walaa yazaaluu ‘abdii yataqarrabu ilaiyya binnawafil hatta uhibbuhu faidzaa uhibbuhu kuntu sam’ahulladzi yasma’u bihi wabasharahulladzi yubshiru bihi wayadahullatii yabthisyu biha warijluhullatii yamsyii bihaa walain saaltanii laathiannahu walainista’adzanii laudziinnahu” (Hadist Qudsi) “Barang siapa yang memusuhi kekasihKu maka Aku izinkan dia untuk diperangi, dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu kecuali Aku lebih menyukaiNya dari apa yang Aku fardhukan kepadanya, dan tidak putusnya hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan mengerjakan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya, Maka ketika Aku mencintainya jadilah Aku pendengarannya yang dengan itu dia mendengar dan jadilah Aku penglihatannya yang dengan itu dia melihat dan jadilah Aku tangannya yang dengan itu dia meraih dan jadilah Aku kakinya yang dengan itu dia dapat berjalan, Jika dia meminta kepadaKu maka Aku akan berikan apa yang dia minta dan Jika dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku akan melindunginya” (Hadist Qudsi)
Apakah masih kurang sesuatu yang Allah tawarkan bagi mereka yang mencintaiNya? Bayangkan jika kita mencintai sesuatu selain Allah. Apa yang kita dapat? Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang kita cintai itu, jika sesuatu itu benar-benar hilang maka kesedihanlah yang akan menghampiri kita. Jadi jelaslah bahwa Cinta yang dalam adalah mencintai kesejatian Cinta Allah kepada kita. Tidak ada potensi kekecewaan sekecil apapun ketika kita mencoba untuk mencurahkan Cinta kita kepada Allah. Allah berfirman dalam Kitabnya yang suci “Qul nahbithuu minhaa jamii’an faimmaa ya’tiyannakum minnii hudaa faman tabi’a hudaaya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun” (Al Baqarah:38) “Kami berfirman Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjukKu niscaya tidak ada kekhawatiran diatas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (Al Baqarah:38). Ayat ini menceritakan ketika Adam dan Hawa serta Iblis diusir oleh Allah dari Surga, Allah mengatakan bahwa ada obat untuk mengobati kesedihan atas kehilangan surga itu yaitu ketika datang petunjuk Allah maka ikutilah petunjuk itu. Karena Petunjuk dari Allah merupakan obat bagi segala kegundahan yang melanda hati kita. Inilah yang dilakukan oleh Manusia yang masih memiliki pikiran yang waras, berusaha mengikuti petunjuk Allah yang Allah sampaikan melalui Rasul-rasul yang Dia utus. Berbeda dengan apa yang dilakukah oleh iblis, dia selalu tidak mematuhi apa yang Allah perintahkan contohnya ketika Allah menyuruhnya untuk melakukan sujud pada Adam, dengan pongah dan takabbur dia menolaknya dan menganggap dirinyalah yang paling mulia.
Dalam menafsirkan Ayat ini Syaikh Nawawi Al Bantani dalam Tafsirnya yang berjudul Tafsir Munir mengatakan bahwa ‘Kekhwatiran’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi pada diri orang yang taat kepada Allah. Dalam ayat ini Mereka tidak akan pernah mengalami itu. Sedangkan ‘Kesedihan’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah Kesedihan atas apa yang tidak dapat dia raih dari keni’matan dunia, karena dunia baginya hanya persinggahan sementara. Suatu saat dia harus pulang ketempat dimana dia berasal yaitu Kampung Akhirat. Lebih jauh beliau mengatakan bahwa Tidak adanya Kekhawatiran melambangkan sudah berkumpulnya seluruh keselamatan dari segala siksa dan marabahaya yang mungkin akan dilewati oleh setiap hamba diakhirat. Sedangkan hilangnya Kesedihan merupakan bentuk dari Tersampaikannya seorang hamba kepada sesuatu yang menjadi dambaannya. Ini menunjukan bahwa siapapun hamba yang taat kepada Allah dengan segenap kecintaannya maka tidak akan ada Ketakutan dan Kekhawatiran baginya dalam Alam Kubur, ketika dibangkitkan dari Kubur, ketika dihisab, ketika Kitab Amal dibuka, dan ketika melewati jembatan ‘Shirathal Mustaqiim’.
Dalam ayat lain Allah mengatakan “Alaa inna auliyaallahi laa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun, alladziina aamanuu wakaanu yattaquun, lahumul busyraa fil hayaatidunya wafil akhirah laa tabdiila likalimaatillahi dzaalika huwal fauzul ‘adziim” (Yunus:62-64) “Ingatlah bahwa sesungguhnya Kekasih-kekasih Allah itu tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat—janji-janji—Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (Yunus:62-64). Lagi-lagi dalam Kitab Tafsir yang sama, Syaikh Nawawi Al Bantani mengatakan bahwa Disini terdapat Kriteria yang diharuskan bagi siapapun yang ingin mendapat predikat ‘Kekasih Allah’. Yaitu mereka harus beriman atas segala apa yang Allah sampaikan melalui RasulNya, disamping itu mereka juga harus bertaqwa dalam arti sebenar-benarnya Taqwa yang mengharuskan setiap hamba untuk Menjauhi segala bentuk dosa dan membersihkan diri dari segala sesuatu yang dapat memalingkan hati mereka dari Allah, serta harus dibarengi dengan perasaan ikhlas yang sebenar-benarnya Ikhlas kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah sebagai motif dari segala bentuk Ibadah yang mereka lakukan. Bagi mereka yang dapat mencapai prestasi Ibadah seperti ini Allah berikan kompensasi yang nyata yaitu berupa hilangnya rasa takut serta kesedihan mereka atas apa-apa yang tidak dan belum mereka dapatkan. Disamping itu Allah berikan baginya ‘Busyraa’ yang oleh sebagian besar ahli Tafsir diterjemahkan sebagai kabar gembira berupa Kecintaan Manusia lain kepada mereka didunia. Yang lain menafsirkannya sebagai Impian yang menjadi kenyataan. Ada juga yang menafsirkan sebagai berita gembira yang disampaikan oleh Malaikat ketika mereka menghadapi Kematian. Yang lain menafsirkannya sebagai Kegembiraan yang dialami setiap hamba ketika menerima Buku Catatan Amal dengan tangan kanannya.
Dalam Kitab Tafsirnya yang berjudul Tafsir Qur’anul ‘Adziim atau lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ismail bin Katsir mengetengahkan banyak Hadist dalam mengomentari Busyraa ini dengan berbagai jalur Riwayat yang berbeda namun Penulis hanya akan menyampaikan satu Hadist saja. “Inna Risaalah wan nubuwwah qad inqatha’at falaa rasuula min ba’dii walaa nabiyya” Fasyaqqa ‘alannaas Faqaala “Walaakinnal Mubasysyiraat” Qaluu Yaa Rasulallah Wamal Mubasysyiraat faqaala “Ru’yaar rajulil muslimi wahiya juzun min ajzaainnubawwah” (Al Hadist) “Sesungguhnya Risalah dan Kenabian sudah terputus” kemudian perkataan Nabi itu menjadikan para sahabat menjadi gusar Rasul pun berkata “Akan tetapi ada ‘Mubasysyiraat” Para sahabat kemudian bertanya apa itu Mubasysyiraat. Rasul pun menjawab “Itu adalah impian seorang muslim yang menjadi nyata, dan itu adalah bagian dari banyak bagian yang menyusun Kenabian” (Al Hadist). Inilah yang akan Allah berikan bagi mereka yang ingin menjadi ‘Kekasih Allah’ atau lebih dikenal dengan Waliyullah.
 Cinta terbalas Cinta adalah ungkapan yang tepat untuk melukiskan uraian diatas yaitu ketika kita sebagai hamba mencurahkan cinta suci kita kepada Allah dengan menggunakan segenap waktu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah maka sudah menjadi keniscayaan Allah akan membalas cinta itu dengan berbahagai hal yang tak pernah kita duga. Dalam hal ini Allah berkata “Waman yattaqillaha yaj’al lahuu makhraja, wayarzuqhu min hitsu laa yahtasib waman yatawakkal ‘alalahu fahuwa hasbuhu innallaha baalighu amrihii qad ja’alallahu likulli syaiin qadraa” (At Thalaaq:2-3) “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan jadikan baginya jalan keluar dari segala urusan. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan segala kebutuhannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakinya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ukuran bagi setiap sesuatu” (At Thalaaq:2-3). Ini merupakan jaminan dari Allah bagi siapapun yang bertekad untuk menjalankan ketaqwaan yang dilandasi Cinta kepada Allah dalam hidupnya. Maka dia tidak usah khawatir dan bersedih karena segala sesuatunya telah diatur oleh Allah. Jadi tunggu apa lagi? Cepatlah curahkan Cinta kita kepada Dzat yang pantas menerimanya.

Memahami Cinta Dalam Perspektif Islam


Dzikir, Caraku mencintaiMu
            Dzikir memang terasa indah bagi siapapun yang mencoba untuk tenggelam didalamnya. Namun sangatlah jarang mereka yang dapat merasakan Halawah atau Kelezatan yang berbuah ketenangan ketika berada didalamnya. Ini mungkin disebabkan oleh tidak mendarah dagingnya Dzikir itu, bisa dipicu karena tidak paham akan maknanya atau pun bisa juga disebabkan karena banyak Ilah-ilah lain dalam hati mereka ketika berdzikir. Berarti ketika melakukan dzikir sangatlah diperlukan fokus dan konsentrasi yang baik agar perhatian kita tidak terbagi kepada selain Allah. Secara harfiah Dzikir ini berarti menyebut atau mengingat. Adalah suatu hal yang menjadi keharusan apabila Kita mencintai sesuatu maka Kita banyak mengingat dan menyebutnya dalam keadaan apapun yang kita alami. Begitupun dalam Konteks Mencurahkan Cinta kepada Allah, dalam keadaan suka atau pun duka, susah atau senang, sakit atau sehat, atau pun dalam keadaan lapang dan sempit sejatinya Dialah Allah yang harus kita ingat dan sebut melebihi kita mengingat dan menyebut apapun.
            Hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Hadistnya “Man ahabba syaian aktsara min dzikrihi” (Al Hadist) “Barang siapa yang mencintai sesuatu pastilah dia banyak mengingat atau menceritakan apa yang dia cintai itu” (Al Hadist). Misalnya saja Remaja hari ini banyak membicarakan dan menyebut lawan jenis yang mereka sukai kepada kawan atau sahabat yang lain dengan melalui sebuah obrolan yang dinamakan Curhat atau Curahan Hati. Dari sini jika sedang senang-senangnya terhadap lawan jenis mereka, mereka banyak melontarkan pujian—meski kadang berlebihan—didepan kawan dan sahabat mereka. Padahal sejatinya ada sesuatu yang lebih pantas untuk dipuji bukan saja didepan kawan kita namun bahkan didepan semua orang, Dialah Allah. Sungguh ironis ketika ingatan kita lebih banyak menerawang kepada sesuatu selain Allah dan malah lupa terhadap Cinta pertama kita, Dzat yang menjadikan kita dari Ketiadaan.
            Dzikir merupakan perintah tersendiri dari Allah yang Dia abadikan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu dzkurullaha dzikran katsiiran wasabbihuuhu bukratan waashiila” (Al Ahzab:41-42) “Hai orang-orang yang beriman  berdzikirlah dengan menyebut nama Allah dengan sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepadaNya diwaktu pagi dan petang” (Al Ahzab:41-42). Dalam memberikan Tafsiran terhadap ayat ini Syaikh Nawawi Al Bantani mengatakan dalam Munirnya bahwa Dzikir itu dapat berupa Tahlil, Tahmid yang diucapkan oleh lisan atau pun hati kita. Dalam Ibadah yang lain Allah mensyaratkan terdapat batas minimal contohnya saja dalam shalat minimal tujuh belas rakaat dalam sehari semalam, akan tetapi tidak dalam Dzikir, Allah menyuruh Umat untuk berdzikir sebanyak-banyaknya tanpa batasan apa pun dalam suasana apapun, siang dan malam, didarat dan dilaut, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kesendirian atau pun dalam keramaian malah ketika dalam keadaan Taat atau pun Maksiat, karena jika kita berdzikir dalam keadaan Taat kepada Allah, maka semakin bertambahlah ketaatan kita. Dan jika kita berdzikir dalam keadaan Maksiat maka akan timbul rasa malu kepada Allah dan berhentilah Maksiat kita.
            Ibnu ‘Athaillah mengatakan bahwa Dzikir merupakan suatu keadaan yang mengakibatkan bersihnya hati kita dari sifat ghaflah atau lupa kepada Allah yang direpresentasikan dengan kehadiran hati kita dengan Allah. Belaiu juga memiliki pendapat lain yang penulis kira memiliki cakupan yang lebih umum tentang Dzikir yaitu Dzikir adalah Membolak-balik nama yang kita ingat dengan lisan dan hati kita. Tentu yang harus kejar adalah bagaimana kita mengkondisikan hati kita agar senantiasa Tune in dengan Allah yang merupakan cinta yang paling utama yang dapat menyelamatkan kita sebab hanya Dia yang memiliki kesempurnaan yang kita idam-idamkan, berbeda dengan Cinta kepada selainNya yang dapat mengganggu Konsentrasi. Artinya ketika kita mengingat Allah maka itu kita sebut Dzikru Mahbuubil ‘Alaa atau Mengingat Yang Dicinta yang memiliki Keagungan namun jika kita ingat kepada sesuatu selain Allah, katakanlah itu lawan jenis yang kita Cintai maka itu kita sebut sebagai Dzikru Mahbuubish Shuar atau mengingat yang dicinta yang memiliki sifat yang kasat mata.
            Instrumen untuk membantu kita berdzikir sebenarnya sangatlah banyak. Sebut saja Membaca Alqur’an, Berbagai macam Wirid, Syair yang menceritakan tentang Ketuhanan, Lagu yang dapat mengantarkan kita kepada Ketauhidan, atau pun Hikayat-hikayat yang berisi nilai-nilai religi yang dapat membantu kita untuk berma’rifat kepada Allah. Dan tentunya Dzikir itu dapat dilakukan dengan berbagai macam anggota tubuh kita, bisa dengan lisan, dengan hati atau dengan anggota tubuh yang lain, atau bisa juga dengan seluruh anggota tubuh kita. Artinya kita bisa memiliki Tangan yang berdzikir, Kaki yang berdzikir, Dada yang berdzikir, Rambut yang berdzikir, bahkan Aliran darah kita pun dapat berdzikir. Imam Al Jaririi pernah berkata “Ada seseorang yang termasuk kedalam sahabatku. Setiap saat yang terbesit dan terucap dalam hati dan lisannya adalah Allah, namun malang suatu saat Kepalanya tertindih oleh batu besar, maka bercucuranlah darah segar dari kepalanya. Sambil meregang nyawa ternyata dia menulis lapadz Allah diatas tanah dengan darahnya yang masih segar itu”.