Senin, 18 Februari 2013


Pudarnya Pesona Cleopatra
Judul Buku                 : Pudarnya Pesona Cleopatra
Penulis                        : Habiburrahman El Shirazy
Tahun Terbit             : 2005
Cetakan ke/tahun     : 2005
Penerbit                     : Republika
Jumlah Halaman        : 108

Novel karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Yang saya dapatkan,  novel ini membuat saya mengubah sudut pandang dalam menilai seseorang, menilai seseorang tak hanya dari indahnya paras wajah yang seolah memalingkan dunia, tetapi menilai seseorang lebih indah bila dari hati yang suci bersih.
Dan dari novel ini saya dapat mengambil hikah bahwa “janganlah menyia-nyiakan sesuatu atau seseorang, karena sesal dan sakit akan terasa jika sesuatu itu telah hilang atau seseorang itu telah tiada” ini mengajari kita untuk menganggap kehadiran seseorang disekitar bahkan disamping kita, agar kita mempunyai sikap peduli dan jangan sampai memiliki sikap acuh tak acuh, bahkan jangan sampai jika sikap kita menggores lembutnya hati bahkan berbekas seumpama paku yang menancap di dinding, walaupun telah dicabut tetap menimbulkan bekas.
Novel Pudarnya Pesona Cleopatra baik dibaca oleh siapapun yang berharap dan menginginkan tak tertipu oleh keindahan yang semu tapi berharap dan menginginkan mendapatkan keindahan yang hakiki.


Sabtu, 19 Januari 2013

Pendahuluan Memahami Cinta Dalam Perspektif Islam ,



Bagi sebagian orang kata ‘Cinta’ bisa membawa mereka berselancar dalam ombak melankolisme dan seolah semua lagu yang berbau cinta dapat menjadi soundtrack hidup mereka, akan tetapi penulis tidak termasuk kedalam sebagian orang itu. Mungkin dikarenakan penulis kurang peduli terhadap hal yang bersifat roman picisan. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Cinta itu? Sayangnya tidak ada satu pun disiplin ilmu yang mampu memberikan definisi tentang apa itu cinta. Kalaupun ada itu hanya ada dalam Ilmu Tashawuf dan itu pun hanya berupa pendekatan yang coba dilakukan oleh para Shufi yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang kentara.  Menurut penulis ini dikarenakan ‘Cinta’ adalah sebuah realita empirik yang memiliki tingkat subjektifitas yang begitu tinggi sehingga masing-masing individu memiliki interpretasi tersendiri terhadap makhluk yang bernama ‘Cinta’ itu.
Begitu luar biasanya Cinta itu sampai-sampai dapat menjadi ‘sihir’ bagi siapapun yang mengalaminya. Seorang yang bermental preman mendadak bisa menjadi melow karena sihir itu. Kalau penulis meminjam istilah Gombloh, dia mengatakan “Jika Cinta sudah melekat, Tai kotok terasa coklat”. Jika kita mengejar istilah Gombloh itu dengan menggunakan logika, maka kita akan timbul pertanyaan dalam benak kita bahwa “Lho? Mengapa bisa seperti itu? Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda? Lantas mengapa bisa mempunyai rasa yang sama?” mungkin dari sini kita dapat menarik sebuah pemahaman bahwa Cinta adalah sugesti yang berada diluar logika. Ketika bicara Cinta maka logika terpinggirkan. Benarkah demikian? Kalau begitu persis dengan sebuah judul lagu yang dibawakan oleh penyanyi Agnes Monica “Tak ada Logika”
Lantas bisakah kita bermain Cinta dengan menggunakan Logika? Mengapa Tidak? Jangan hanya karena mengatasnamakan cinta kemudian kita terperangkap dalam suasana yang malah kontraproduktif terhadap kehidupan kita sebagai manusia. Misalnya karena putus cinta atau Kita menyatakan cinta pada seseorang namun Dayung itu tak bersambut—Dengan kata lain ditolak—Kemudian kita berasumsi seolah dunia ini sudah berakhir. Hi come on! Life must go on. Inilah yang menurut penulis adalah salah satu dampak negatif Cinta yang berlebihan kepada Makhluk. Mencintai sesuatu yang belum tentu membalas Cinta kita dan kalau pun membalas terkadang tidak disertai ketulusan atau hanya menyajikan “Status Palsu” bagi kita seperti sebuah Lagu yang dinyanyikan oleh Vidi Aldiano. Lantas kepada siapakah kita harus mencinta dan kita sudah mendapat jaminan bahwa cinta kita akan terbalas?.
Ada Sang Pecinta sejati. Meskipun yang Dia cintai tidak mencintai Dia tapi Dia tetap mencinta. Dia tidak mengurangi jumlah hembusan nafas mereka walaupun mereka tidak mencintaiNya. Dia tidak mengurangi takaran rejeki mereka walaupun mereka tidak membuktikan kesetiaan kepadaNya. Dia tidak cepat marah walaupun mereka banyak berpaling dariNya. Dia tidak lekas cemburu walaupun hamba yang Dia cintai lebih mempedulikan selainNya. Dia selalu membuka pintu maaf bagi hamba yang ingin kembali padaNya dan menyimpan kembali Cinta yang seharusnya itu pada tempatnya.
Dialah Allah yang apabila kita menaruh rasa cinta tulus kita kepadaNya, Dia tidak akan pernah menolaknya. Dia yang selalu membalas Cinta hambaNya lebih besar dari yang hambaNya berikan. Dia adalah Penawar dikala hati gundah dan Penabur kalbu dikala hati rindu. Dia adalah tempat mengadu jika hidup terasa tak syahdu. Dia selalu setia meski terkadang banyak hamba yang mengaku mencintaiNya malah mengkhianatiNya. Dialah Allah Tuhan semesta alam yang mengadakan kita dari ketiadaan. Dialah Allah Rabb sejati.

Kepada siapakah aku harus berikan Cinta ini?



            Disadari atau tidak, Kebanyakan dari kita hari ini ternyata lebih memposisikan Allah sebagai “Kekasih yang tak dianggap”. Kita lebih mencintai diri kita, Kita lebih mencintai pasangan kita, Kita lebih mencintai pekerjaan kita, Kita lebih memilih mencintai sesuatu selainNya ketimbang berusaha mencurahkan seluruh Cinta yang kita miliki kepadaNya. Padahal sesungguhnya jika kita mencoba untuk memahami realita yang sebenarnya, maka Aktor Utama dalam eksistensi diri kita adalah Allah. Dia yang membuat kita menjadi ada. Logikanya Adalah suatu Kewajiban bagi kita untuk lebih memprioritaskan Cinta kita kepada Sesuatu yang membuat kita ada ketimbang kita mencintai sesuatu selainNya.
            Dalam Kitab Jawaabul Kaafii karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dikatakan bahwa Kita tidak akan pernah bisa menyatukan antara Cinta kepada Allah dan Cinta kepada selain Allah. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Sebab Allah katakan dalam Alqur’an “Maa ja’lalahu lirajulin min Qalbaini fii jaufih” (Al Ahzab:4) “Tidaklah Allah menciptakan dua hati dalam dada seseorang” (Al Ahzab:4). Hati manusia yang satu itu terlalu sempit untuk dapat diisi oleh dua hal. Ketika Cinta harus memilih. Maka dia harus memilih antara Allah atau selain Allah. Namun pernyataan ini hendaknya jangan diartikan sebagai gerakan anti menikah atau anti terhadap pekerjaan akan tetapi harus dipahami bahwa Kita harus menikah namun janganlah cinta kita kepada pasangan melebihi cinta kepada Yang menciptakan pasangan kita, janganlah cinta kita kepada pekerjaan melebihi cinta kepada Yang memberikan pekerjaan kepada kita yaitu Allah. Yang dimaksud oleh penulis adalah Hubb Thabi’i atau Cinta Tabiat yang merupakan sesuatu yang mubah—seperti cinta kita kepada lawan jenis, cinta kepada pekerjaan, atau cinta kita kepada diri kita sendiri—sejatinya tidak boleh melebihi Hubb Syar’i atau Cinta Syara’ yang merupakan kewajiban—seperti cinta kepada Allah dan cinta kepada Rasul—
            Porsi Cinta Tabiat tidak diperkenankan melebihi porsi Cinta Syara’ dikarenakan Allah katakan dalam Alqur’an “Innallaha laa yaghfiruu an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzalika liman yasyaa” (An Nisaa:48) “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukanNya dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi orang yang Dia kehendaki” (An Nisaa:48). Penulis menganggap bahwa ‘menyekutukan’ disini juga termasuk dalam menyekutukan Cinta kepadaNya. Kita sebagai makhluk yang keberadaan kita adalah atas prakarsa dari Allah maka tidaklah pantas apabila kita menduakan Cinta kita kepada selain Allah. Yang harus kita lakukan sebagai balas budi kepada Dia yang dengan cinta kasihNya membuat kita dari nothing  menjadi something adalah dengan mentauhidkan cinta kita kepadaNya. Haram bagi kita membuat tandingan cinta-cinta yang lain. Dalam ayat lain Allah katakan “Waminan naasi man yattakhidzu min duunillahi andaada yuhibbuunahum kahubbillah walladziina aamanuu asyaddu hubban lillah” (Al Baqarah:168) “Dari sebagian manusia itu ada mereka yang menjadikan kepada selain Allah sebagai tandingan-tandingan kepada Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah dan orang-orang yang beriman adalah amat sangat mencintai Allah” (Al Baqarah:168).
            Jelaslah bahwa apabila kita masih ingin tergolong kepada golongan orang beriman. Maka konsekuensi logisnya adalah mau tidak mau kita harus menempatkan Cinta kepada Allah diatas Cinta kepada segalanya. Kita tempatkan Cinta kepada selain Allah cukup sewajarnya saja. Tak perlu kecewa apabila pada suatu saat yang kita cintai selain Allah itu pergi meninggalkan kita. Toh dia adalah makhluk yang tidak memiliki dimensi kesempurnaan. Bukankah kita memiliki Yang Maha Sempurna, Yang Maha Indah, Yang Maha Tunggal. Dialah Allah yang meski kita berbuat dosa Dia tidak mengurangi jatah nafas kita dalam sehari-harinya.
            Sangat pantas apabila prioritas cinta kita adalah Allah. Karena sebenarnya Dialah cinta pertama seluruh makhluk yang ada dijagat raya ini. Sebelum satu makhluk mengenal makhluk yang lain, sesuatu yang pertama kali dia kenal adalah Allah. Allah katakan ketika Dia mengambil anak Adam dalam bentuk seperti semut dari tulang belakang Nabi Adam dalam kitabnya yang suci itu “Waidz akhadznaa rabbuka min banii aadama min dzuhuurihim dzurriyyatahum waasyhadahum ’alaa anfusihim alastu birabbikum qaaluu balaa syahidnaa” (Al A’raaf:172). “Dan (ingat) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka seraya Allah berkata ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab ‘Benar Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi’. (Al A’raaf:172). Sangatlah logis apabila kita apabila kita lebih mencintai Tuhan kita dan tidak menjadikan sesuatu selainNya sebagai Tuhan yang kita puja.
Orang mengatakan Cinta pertama itu sulit dilupakan, jika premis ini benar lantas Mengapa dengan gampangnya kita lupakan Cinta pertama kita? Sejatinya Allah adalah cinta sejati kita sedangkan kita semua tahu bahwa Sesuatu yang bernama Cinta sejati itu mengharuskan kita untuk setia terhadap cinta itu. Setiap Cinta yang selain kepada Cinta yang sejati itu akan berakibat kelanggengan dalam kesengsaraan.
Cinta Tabiat yang contohnya penulis sampaikan pada halaman pertama makalah ini, akan membunuh Cinta yang lebih memiliki manfaat dari Cinta Tabiat maka Kiranya adalah Wajib bagi kita untuk memilih satu diantara dua cinta itu. Tabiat atau Syar’i? jika kita berpaling dari Cinta kepada Allah maka Allah akan memberikan kita sebuah adzab yaitu dengan menanamkan Cinta kepada selainNya dalam hati kita dan akibat dari ‘Cinta Terlarang’ itu bisa kita temui didunia atau pun diakhirat kelak. Siksa itu dapat berupa Allah menyiksa kita dengan menjadikan kita Pecinta Berhala atau Pecinta Api atau Pecinta Wanita atau Pecinta Dosa atau pun Cinta lain yang derajatnya begitu hina dimata Allah. Karena sejatinya Manusia adalah budak dari apa yang dia cintai. Begitu kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Jawaabul Kaafii. Pilih mana? Menjadi budak Tuhan atau budak selainNya? Allah katakan dalam Al qur’an “Afaraita man ittakhadza ilaahahu hawaahu waadhallahullahu ‘ala ‘ilmin wakhatama ‘alaa sam’ihi waqalbihi waja’ala ‘alaa basharihi ghisyaawah faman yahdiihi min ba’dillahi afalaa tadzakkaruun (Al Jaatsiyah:23) “Apakah engkau pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah membuatnya sesat. Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran” (Al Jaatsiyah:23). Orang yang memilih selain cinta kepada Allah sama saja dengan mereka yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka barang siapa yang Cinta Syar’inya lebih besar dari Cinta Tabiat maka dia akan berhasil dalam mengendalikan Cinta yang kedua itu atau sesuatu yang lain yang diakibatkan oleh Cinta itu serta sesuatu yang dapat mengantarnya kepada Cinta itu. Dalam hidupnya tak akan pernah ada Cinta buta terhadap sesuatu selain Allah. Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki istri, Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki pekerjaan, Penulis tidak melarang pembaca untuk menjadi orang kaya. Akan tetapi maksud penulis adalah jangan sampai kepemilikan kita terhadap istri, kepemilikan kita terhadap pekerjaan, dan kepemilikan kita terhadap kekayaan menjadi penghalang dalam Cinta kita kepada Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu Laa tulhikum amwalukum walaa auladukum ‘an dzikrillahi waman yaf’al dzalika faulaaika humul khaasiruun” (Al Munaafiquun:9). “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barang iapa yang berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi”. (Al Munaafiquun:9)
Maksud dari ayat ini adalah jangan sampai ada dominasi Cinta kepada selain Allah atas cinta pada Allah. Sesuatu yang bersifat profan semisal harta dan keluarga tidak boleh mendapat porsi yang lebih besar dihati kita daripada sesuatu yang bersifat kekal. Cinta yang terkontaminasi Cinta lain adalah tidak dapat dikategorikan kedalam Cinta yang suci. Dan sejatinya Cinta suci itu kita persembahkan untuk Allah semata. Akan tetapi berbeda konteksnya ketika kita berbicara Cinta karena Allah. Yaitu kita menaruh Cinta yang lain dihati kita tapi masih dalam koridor Cinta kepada Allah semisal Cinta kita kepada Rasul atau Cinta kepada Malaikat atau pun Cinta kepada Kitab Allah. Cinta-cinta yang demikian sejatinya kita bungkus dengan Cinta kepada Allah. Mengapa demikian? Jawabannya karena Allah pun mencintai mereka. Misalnya Jika kita mencintai seseorang maka kita pun harus belajar mencintai apa yang dia cintai, contohnya saja dia memiliki hobi menonton film romantis maka kita harus belajar untuk menyukai hal yang sama. Premis ini berlaku atas Cinta kita kepada Allah. Karena Itu adalah Cinta dijalan Allah dan karena Allah.
Penulis ingin mengetengahkan hadist yang termaktub dalam Kitab Jawaabul Kaafii. “Tsalatsun man kunna fiihi wajada bihinna halawatal iiman: An yakuunallahu wa rasuuluhu ahabba ilaihi minma siwaahuma. Wa anyuhibbul mar’a layuhibbuha illa lillahi. Wa anyukraha anyarji’a ilalkufri ba’da an qadahullahu minhu kama yukrahu an yuqdafa finnari” (Al Hadist). “Ada tiga sikap yang bagi siapapun yang berada dalam sikap seperti itu maka dia akan menemukan kelezatan iman: Allah dan RasulNya harus lebih dicintai dari selain mereka, Harus mencintai dan tidak mencintai karena Allah, Harus tidak menyukai untuk kembali berada dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak menyukai untuk dilemparkan kedalam api” (Al Hadist).
Dalam hadist diatas tersirat bahwa Kita boleh mencintai sesuatu selain Allah selagi sesuatu itu tidak menarik kita kedalam kekafiran dan juga kekufuran karena dua hal itu malah akan mengikis Cinta kita kepada Allah. Cinta sewajarnya adalah porsi yang pantas untuk Cinta kepada selain Allah. Dan Cinta dengan sepenuh hati adalah Cinta yang seharusnya kita persembahkan untuk Rabb yang menciptakan kita. Termasuk didalamnya adalah cinta kita kepada lawan jenis atau pasangan kita. Sampai-sampai Ibnu Qayyim Al Jauziyah  mengatakan bahwa “Mahabbatun Nisaa min kamalil insan” “Mencintai wanita adalah bagian dari kesempurnaan seorang Lelaki”. Artinya adalah sesuatu yang lumrah apabila dalam hati seorang laki-laki timbul ‘cinta birahi’ terhadap seorang wanita. Karena jika laki-laki mencintai laki-laki adalah suatu hal yang abnormal dan jika kita kaitkan dengan ucapan Ibnu Qayyim maka itu adalah simbol ketidaksempurnaan. Namun tentunya segala hal yang menyangkut Cinta itu harus berada dalam koridor agama untuk mengejawantahkannya,
Cinta yang masih dalam batas kewajaran kepada sesuatu selain Allah sejatinya dapat dijadikan sebagai instrumen dalam berma’rifat kepada Allah, ini dapat dilakukan dengan cara menyadari bahwa dalam sesuatu yang kita cintai itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Misalnya saja ketika seorang suami yang mencintai istrinya suatu saat memandang wajah istrinya yang cantik itu kemudian berkata “Subhanallah Yang telah menciptakan keindahan dalam diri istriku, sesuatu yang Kau ciptakan ini sudah sangat indah apalagi Engkau Yang menciptakan semua ini, Tentu keindahanMu tiada bandingan”. Itu adalah satu contoh saja, Coba kita sadari bahwa dalam setiap sesuatu yang kita cintai dan bahkan yang tidak kita cintai, pasti selalu ada aktor utama sekaligus sutradara merangkap produser. Dialah Allah. 

Ada apa sajakah dalam cinta itu?



            Dalam cinta terdapat beberapa unsur yang menyusunnya. Ibnu Qayyim Al jauziyyah  menyampaikannya secara gamblang dalam kitabnya jawaabul kafii. Unsur yang dimaksud itu adalah cinta selalu meninggalkan bekas dalam hati, cinta selalu memiliki implikasi, cinta selalu memiliki ketergantungan, dan cinta pun memiliki hukum atau aturan. Semua unsur itu bisa terpuji ataupun tercela, bisa bermanfaat atau pun malah menimbulkan mudharat karena bisa berupa rasa, kenikmatan merasakan rasa itu, bisa juga berupa rasa rindu, dan merasa nyaman ketika berada dengan sesuatu yang kita cintai, merasa begitu ingin bertemu ketika yang kita cintai jauh dari kita, Terkadang ada rasa ingin berpaling dan pergi, suka cita dan kesenangan atau malah duka cita dan rasa merana. Inilah unsur yang menyusun cinta yang mungkin semuanya sudah pernah kita alami karena tendensinya tentang cinta pada selain Allah yang menjadikan kebanyakan orang begitu gandrung untuk membahasnya.
            Lebih jauh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa Cinta yang terpuji adalah cinta yang bermanfaat yang dapat membawa Sang Pecinta kepada sesuatu yang bermanfaat baginya didunia dan akhirat. Maka dari itu kita jangan sampai salah dalam menitipkan cinta kita. Titipkanlah cinta kita pada pribadi yang pantas yang dapat bekerja sama dengan kita dalam meraih kebahagiaan didunia hari ini maupun kelak diakhirat. Misalnya saja cinta kepada Allah yang didasari oleh fondasi ketauhidan yang kuat sehingga sampai mendarah daging dan tercipta kegandrungan hati dalam mencintai Allah. Atau pun dalam memilih pasangan hidup, ikhtiar mutlak harus kita lakukan agar tidak terjadi ketimpangan dalam hidup kita. Kita harus berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan siapakah yang berhak menerima cinta kita. Cinta inilah yang menjadi indikasi kebahagiaan seseorang.
            Cinta yang tercela adalah cinta yang membawa Sang pecinta kepada kemudharatan didunia dan diakhirat. Cinta kepada dunia adalah salah satu darinya, cinta ini merusak cinta kita kepada Allah yang sejatinya merupakan fitrah kita sebagai manusia sejati. Untuk apa kita terjerumus dalam cinta yang hina ini jika toh akhirnya dapat merusak fitrah kita. Contoh lainnya semisal kegandrungan dalam mencintai lawan jenis pun dapat merusak cinta kita pada Allah karena hati kita yang sempit itu didukuki oleh sesuatu yang seharusnya tidak berada disitu. Cinta seperti ini menciptakan kebingungan yang luar biasa pada Sang Pecinta dalam menjalaninya dan kesengsaraan setelah menjalaninya, maka tidak usahlah kita mencoba-coba cinta yang ini karena Cinta ini adalah indikasi celakanya Sang Pecinta.
            Tentunya orang yang masih mengaku dirinya waras tidak akan memilih cinta yang akan membuatnya masuk dalam lembah kesengsaraan. Disinilah dibutuhkan kejernihan hati dan pikiran serta ketenangan jiwa untuk melawan hawa nafsu yang senantiasa menarik kita pada cinta yang hina ini. Jangan sampai logika dan hati terseret nafsu berkepanjangan sehingga tentara logika dihancurkan oleh tentara nafsu, sebab Motif yang mendasari cinta ini jika tidak I’tiqad yang buruk adalah hawa nafsu yang tercela. Maka dari itu sejatinya setiap manusia harus memiliki Manajemen Cinta dan Manajemen Hati yang baik.
            Uraian diatas menyampaikan kepada kita bahwa Implikasi setiap Cinta bergantung kepada pada siapakah kita menitipkan dan mengejawantahkan cinta kita ini. Jika kita mencurahkan cinta kita kepada sesuatu yang rapuh maka yang terjadi adalah akibat-akibat yang akan membawa kemudharatan kepada kita dan begitu pun sebaliknya jika kita mencurahkan cinta kita kepada sesuatu yang kuat dan kekal maka kemanfaatan dari segenap penjuru akan menghampiri kita.

Ternyata Cinta memiliki level tersendiri



            Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka hatinya diperbudak oleh sesuatu yang dia cintai itu. Cinta itu menjadi alasan dia untuk mengambil keputusan dan bertindak. Terkadang akal sehat tergerus oleh besarnya abrasi cinta yang menggulung dalam hati seseorang, namun tahukah kita sudah sampai manakah derajat kecintaan kita kepada Dzat yang paling berhak untuk menerima cinta kita? Atau memang pertanyaan itu tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran kita? Atau jangan-jangan cinta kita kepada Allah masih sebatas Cinta yang dangkal? Mari kita cek sudah sampai manakah cinta itu mengalir.
            Cinta sebenarnya memiliki level jika dilihat dari kualitas kecintaan kita pada apa yang kita cintai. Ada yang disebut dengan Terpesona atau Tatayyum, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menggolongkan ini kedalam rasa cinta karena disinilah sesungguhnya mulai pertama kali  muncul keterikatan sang pecinta dengan apa yang dia lihat dari sesuatu yang dia cintai atau mungkin Orang sering menyebutnya dengan jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Pernahkah kita terpesona dengan Allah dan segala keagunganNya? Pernahkah kita merasa bahwa sesuatu yang selama ini kita kagumi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang ada pada Allah? Bahkan apa yang ada pada diri kita pun sangat tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Keagungan Allah, karena jika kita memikirkan lebih dalam, jasad dan ruh kita adalah pemberian dari Allah, pernahkah kita merasakan itu dan timbul dalam perasaan kita bahwa Allah memang memiliki kuasa atas segalanya sehingga muncul PesonaNya dalam hati kita yang mulai menyirami benih-benih cinta kepadaNya. Setelah rasa ini sempurna maka akan datang rasa Shababah atau Suasana hati yang sayu karena rasa ingin bertemu dengan apa yang kita cintai.
            Dari sinilah akan tumbuh sesuatu yang Ibnu Qayyim Al Jauziyyah katakan sebagai Gharaam atau Kecintaan yang mulai menyiksa hati kita ketika kita tidak bisa bertemu dengan apa yang kita cintai itu yaitu Allah. Sebuah kecintaan yang hati kita tidak dapat lepas dari cinta itu dan Cinta itu menjadi kuncian bagi hati kita sehingga memaksa cinta lain untuk tidak bisa masuk karena hati kita sudah terisi. Cinta yang seperti inilah yang sejatinya harus kita curahkan pada Allah bukan dengan gampangnya kita berikan rasa yang luar biasa ini kepada selain Allah. Sebab sesuatu selain Allah tidak akan dapat membalas rasa yang persis sama dengan rasa yang kita kita berikan karena terkadang didalamnya selalu ada motif yang merupakan pertanda ketidaksucian cinta balasan itu.
            Kemudian setelah Gharaam akan muncul rasa ‘Isyq atau semangat dalam mencurahkan cinta karena pesona yang Allah timbulkan itu bersifat kekal tidak seperti pesona-pesona yang lain yang bisa termakan oleh zaman. Rasa ini akan senantiasa menimbulkan semangat untuk menjalankan ibadah dengan tanpa pamrih dari Allah—dengan tidak mengharap surga atau ingin diselamatkan dari siksa neraka—karena motifnya adalah cinta yang menimbulkan pengabdian dari sang pecinta terhadap apa yang dia cintai.
            Rasa ini akan diikuti oleh rasa Syauq atau Kerinduan yang Ibnu Qayyim definisikan sebagai Perjalanan hati sang pecinta kepada apa yang dia cintai, meski jasadnya ada disuatu tempat akan tetapi hatinya senantiasa mencari obat penawar rindu—kepada Allah—yang dia alami, bisa dengan banyak cara tentunya dengan membaca Alqur’an karena itu adalah salah satu cara berdialog dengan Allah, sebab Rasul katakan “Man araada an yatakallama ma’allahi fal yaqrail Qur’an” “Barang siapa yang ingin berbincang-bincang dengan Allah maka bacalah Alqur’an” Mengapa Rasul berkata seperti ini? Karena segala sesuatu yang ingin kita ketahui semuanya termaktub dengan jelas dalam Alqur’an. Ketika kita mentadaburi makna Qur’an maka ada rasa yang tertanam dalam hati kita, rasa tentram, damai, seolah hanya ada kita dan Allah, kita menjadi lebih mudah untuk meneteskan air mata tapi bukan karena cengeng akan tetapi karena ternyata dengan membaca sambil mendalami Kitab Allah yang suci itu kita akan semakin mengetahui sudah sampai manakah posisi kita dalam beribadah sehingga dari situ kita dapat mengetahui betapa teledornya kita dalam menjalankan ibadah kepada Allah.
            Ketika kesadaran ini tumbuh maka akan ada rasa ingin bertemu dengan Allah. Seperti diceritakan dalam sebuah Atsar “Thaala syauqul abraar ilaa wajhika wa anaa ilaa liqaaika asyaddu syauqan” “Betapa panjangnya kerinduan orang-orang yang telah mengerjakan kebaikan kepadaMu akan tetapi aku sangat jauh merindukanMu”. Ini merupakan intisari dari apa yang disampaikan oleh Rasul “Man ahabba liqaallah ahabballahu liqaahu” (Al Hadist) “Barang siapa yang menginginkan bertemu dengan Allah maka Allah pun menginginkan untuk bertemu dengannya” (Al Hadist) dan dengan hadist inilah sebagian ulama ahli ma’rifat menafsirkan sebuah ayat dalam alqur’an yaitu ayat “Waman kaana yarjuu liqaallahi fainna ajalallahi laat” (Al Ankabuut:5) “Barang siapa yang menginginkan pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan oleh Allah itu akan datang” (Al Ankabuut:5). Juga Allah katakan dalam ayat lain bahwa “Man kaana yarjuu liqaa rabbbihi fal ya’mal ‘amala shaalihan walaa yusyrik bi’ibadati rabbihi ahadaa” (Al Kahfi:110) “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka dia harus mengerjakan amal shaleh dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam melakukan ibadah kepada Tuhannya” (Al Kahfi:110).
            Pada hakikatnya semua ibadah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam adalah instrumen untuk senantiasa seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah. Penulis memiliki seorang kawan dan pada suatu saat kami berbincang-bincang, dia membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan “Rid, apa kau tahu bahwa sejatinya setiap mukmin dapat melakukan Mi’raj dan melakukan pertemuan dengan Allah?” penulis pun terheran dan balik bertanya “Lho? Bagaimana bisa?” tapi dia malah balik menimpali “Kenapa tidak?” lalu penulis pun kembali bertanya “Kapankah waktunya itu?” Kawan penulis pun menjawab “Ketika setiap mukmin melakukan shalat maka pada saat itu pula dia sedang melakukan Mi’raj”. Namun tentunya bukanlah sembarang shalat yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya akan tetapi shalat yang khusyuk yang dibarengi dengan mentadaburi setiap bacaan dalam shalat itu serta mencoba menginternalisasikan makna-makna bacaan shalat itu dalam darah daging kita. Allah katakan dalam Alqur’an “Qad aflahal mu’minuuna, alladziina hum fi shalatihim khasyi’uun” (Al Mu’minuun:1-2) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Al Mu’minuun:1-2).
            Inilah pengobat rindu kepada Rabb yang menciptakan kita, ibadah, ibadah, dan ibadah. Anggaplah Qur’an yang suci itu sebagai sebuah kumpulan surat cinta dari kekasih yang berisi perhatian Sang kekasih kepada kita sebab didalamnya berisi larangan kepada kita agar kita tidak melakukan hal yang sifatnya destruktif dan merupakan perintah untuk kita agar melaksanakan hal yang membangun akidah dan kuantitas serta kualitas ibadah yang merupakan perhatian kita kepada Rabb yang menciptakan kita.
            Ketika rasa ini sudah mendarah daging maka seorang hamba akan diam karena Allah, berbicara karena Allah, mendengar karena Allah, memegang karena Allah, berjalan karena Allah. Seluruh perbuatannya dia curahkan hanya karena Allah. Allah menjadi motif dalam diam dan dalam bertindaknya.
            Level cinta pun dalam dilihat dari segi hukum yang menaunginya. Ini disampaikan oleh Syaikh ‘Abdur Rahman Ash Shafuri dalam kitab Nuzhatul Majalis. Beliau mengatakan bahwa Cinta bisa mengandung unsur mubah yaitu mencintai sesama manusia, juga bisa makruh seperti kita mencintai dunia, bisa juga memiliki hukum sunnah yaitu mencintai keluarga bahkan ada yang fardhu yaitu mencintai Allah dan RasulNya dan cinta inilah yang memiliki Tautologi yang kuat karena tidak bisa kita mencintai Allah tanpa kita mencintai Rasul dan tidak bisa kita hanya mencintai Rasul tanpa mencintai Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullahu” (Ali Imran:31) “Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” (Ali Imran:31). Ternyata terdapat syarat dalam kita mencintai Allah yaitu kita harus menaati apa yang diperintahkan oleh rasul dan menjauhi segala apa yang beliau cegah. Mengapa demikian? Sebab segala sesuatu yang beliau perintahkan untuk dikerjakan dan sesuatu yang beliau perintahkan untuk kita jauhi semuanya adalah bersumber dari wahyu Allah karena seorang nabi tidak akan pernah bertindak, berucap, bahkan berkehendak kecuali atas apa yang Allah perintahkan kepadanya. Dalam hal ini Allah katakan dalam Alqur’an “Wamaa yanthiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa” (An Najm:3-4). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (An Najm:3-4). Maka ketika kita menaati apa-apa yang dikatakan rasul maka hakikatnya pada saat itu pula kita sudah menaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah.
            Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa ternyata barang siapa yang memproklamirkan diri bahwa dia mencintai Allah kemudian dia tidak taat kepada rasul maka pada saat yang sama kita sudah bisa mengetahui bahwa Cinta yang selama ini dia gembar-gemborkan ternyata tak lebih dari sekedar dusta belaka. Karena bagaimana pun Cinta membutuhkan pengabdian kepada apa yang dicintai tanpa itu Cinta hanya akan ada dalam baris dan bait puisi untuk bisa dinikmati sebagai penghias bibir. Syaikh Hasan Al Bishri mengatakan bahwa ayat ke 31 dari surat Ali Imran diatas merupakan ujian bagi mereka yang mengaku mencintai Allah. Cinta memang harus diuji untuk mengetahui sampai manakah kadar kecintaan seseorang kepada Allah. Apakah cinta itu masih sebatas Cinta yang dangkal? Atau jika berhasil lulus ujian itu apakah cinta itu sudah dapat digolongkan kedalam Cinta yang dalam? Yang jelas Cinta selalu membutuhkan pembuktian. Ini berarti Tidak ada Cinta yang tak bersyarat.
            Untuk mempertinggi level kecintaan, maka Cinta pun harus dipupuk dan dipelihara. Bagaimanakah caranya? Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Rasa Cinta akan semakin tumbuh dan berkembang apabila kita sering bertemu dengan apa yang kita cintai. Jika premis yang disampaikan seperti ini maka sesungguhnya ada banyak cara untuk kita memupuk rasa cinta kepada Allah, salah satunya adalah dengan apa yang tadi sudah penulis sampaikan diatas bahwa Shalat dapat membawa seorang hamba untuk Mi’raj dan bertemu dengan Allah. Ini berarti dengan memperbanyak shalat kita dapat memupuk rasa cinta kepada Allah karena dengan itu kita dapat sering bertemu dengan Allah, atau contoh lainnya dengan banyak membaca Alqur’an karena seperti penulis katakan diatas bahwa dengan membaca Kitab suci itu berarti kita berbincang-bincang dengan Allah. Maka dengan semakin seringnya kita membaca Alqur’an maka semakin sering pula kita berbincang-bincang dengan Allah dari situlah Cinta kepada Allah akan tumbuh subur dan melembaga didalam darah daging kita sebagai hamba. Tentu tidak hanya dengan dua cara diatas karena masih ada cara-cara yang lain dengan tidak meninggalkan cara ini. Sebab sejatinya seluruh substansi ibadah dalam islam didesaign untuk menciptakan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, hanya berbeda dari segi teknisnya saja karena masing-masing memiliki syarat dan rukun yang sudah diatur oleh aturan Syara’.

Klasifikasi Cinta



            Anggaplah bagian ini sebagai rangkuman dari apa yang telah penulis sampaikan diatas dan Masih dengan referensi yang sama dari Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam karyanya yang berjudul Jawaabul Kaafii. Beliau mengatakan bahwa Cinta terbagi menjadi lima dan bagi mereka yang tidak dapat membedakan diantaranya akan salah dalam menempatkan kepada siapakah Cinta harus kita curahkan. Macam-macam Cinta itu adalah sebagai berikut:
Ø  Cinta kepada Allah. Dan ini tidaklah cukup karena Umat nonMuslim pun seperti Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa mereka mencintai Allah padahal pada prakteknya Yahudi malah meninggalkan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Musa dengan tidak mengakui Nabi Isa sebagai Nabi yang diutus oleh Allah dan menuduhnya sebagai anak hasil perzinahan. Sementara itu Umat Nashrani yang mengklaim dirinya sebagai penganut ajaran Nabi Isa yang taat malah beribadah kepada kayu salib. Jelaslah bahwa ini adalah penyimpangan yang dilakukan secara komunal dan sistematis dan sebetulnya mereka tidak layak untuk melakukan klaim Cinta kepada Allah karena dalam mengejawantahkan Cinta itu mereka malah menyimpang dari ajaran Rasul-rasul Allah yang Allah utus untuk memurnikan Akidah dan Cinta kepadaNya.
Ø  Cinta kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah. Seperti yang telah penulis katakan pada uraian sebelumnya bahwa Untuk mencintai sesuatu, kita harus mencintai sesuatu yang dicintai oleh sesuatu yang kita cintai. Islam adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah maka kita pun harus menjalani cinta kepada Allah dengan menjalani cinta kepada Islam. Allah katakan dalam Alqur’an “Innaddiina ‘indallahil islam” (Ali Imran:19) “Sesungguhnya Agama yang dicintai oleh Allah adalah islam” (Ali Imran:19). Dan orang yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang dapat beristiqamah dalam islam.
Ø  Cinta karena Allah dan dijalan Allah. Ini merupakan bentuk Cinta yang menjadi syarat atau kemestian dari Cinta kepada sesuatu yang Allah cintai, sebab Cinta kepada sesuatu yang Allah cintai tidak akan pernah tegak tanpa Cinta karena Allah dan dijalan Allah. Artinya Cinta kepada yang Allah cintai itu terbungkus dalam bingkai Cinta kepada Allah. Ini penting sebab jika tidak dalam bingkai mencintai Allah maka akan terjadi Cinta yang berikutnya yaitu
Ø  Cinta yang menandingi Cinta kepada Allah. Ini merupakan Cinta yang mengakibatkan ‘Syirik’, sebab porsi Cinta kepada selain Allah sudah sama dengan Cinta kepada Allah. Misalnya saja Kecintaan kaum Musyrikin kepada berhala-berhala yang mereka sembah, sejatinya mereka mencintai Allah dan mengakui eksistensiNya akan tetapi perlakuan mereka kepada berhala-berhala itu telah menjadikannya tandingan cinta kepada Allah. Maka barang siapa yang mencintai beserta Allah dan bukan karena Allah maka sejatinya mereka sudah membuat tandingan cinta kepada Allah.
Ø  Cinta Tabiat. Merupakan Cinta manusia kepada sesuatu yang cocok dengan Tabiatnya. Contohnya saja Cintanya orang yang sedang kehausan kepada Air, Cintanya seorang yang sedang kelaparan kepada makanan atau pun Cinta seorang manusia kepada lawan jenisnya. Cinta ini tidaklah tercela asalkan tidak mengakibatkan Si Manusia itu lalai dalam Mengingat Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu Laa tulhikum amwaalukum walaa aulaadukum ‘an dzikrillahi” (Al Munaafiquun:9) “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta dan keluarga kalian membuat kalian lalai dari mengingat Allah” (Al Munaaafiquun:9).

Cinta ini membunuhku ???



            Cinta yang membunuh adalah Cinta yang mendorong Sang Pecinta kepada sebuah keadaan yang sarat dengan nuansa melankolisme. Ini terjadi ketika akal beserta instrumen logika yang tersedia dalam diri kita sudah tumpul dalam menghadapi realita cinta yang ada. Ini juga disebabkan karena diri kita tidak memiliki back up ketika suasana yang tidak mengenakan datang menghampiri. Back up yang penulis maksud adalah Tauhid Cinta kepada Allah, sebab hanya ketauhidanlah yang dapat menangkal kejahiliyahan dan keghaflahan hati seorang hamba ketika terjungkal kedalam keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Dalam nuansa melankolisme yang begitu menggebu dalam mencintai lawan jenis tidaklah memiliki manfaat sedikit pun baik dalam aspek keduniaan maupun agama, sebab suasana kebatinan seperti ini dapat mengakibatkan produktifitas kita sebagai manusia menjadi jauh berkurang. Mengapa? Jawabannya sebagai berikut:
            Menggebu-gebunya hati kita dalam mencintai lawan jenis mengakibatkan kesibukan dalam hal memikirkan dia yang kita pikirkan daripada kita mencoba untuk mengkonsentrasikan pikiran kita untuk berma’rifat kepada Allah. Akibatnya adalah Hati dan pikiran kita menjadi penuh oleh satu hal yang sebenarnya tidak perlu. Ingatlah bahwa Allah tidak menciptakan dua hati dalam dada seorang manusia, ketika Hati kita sudah ditempati oleh satu hal maka niscaya hal lain tidak akan dapat memasukinya. Disinilah akan muncul kegandrungan yang membuat kita malas untuk melakukan apapun bahkan untuk makan pun akan terasa berat. Apakah suasana seperti ini yang kita inginkan untuk menghiasi hidup kita? Maka siapakah yang lebih pantas? Allah ataukah sesuatu selain Allah?.
            Ketika hati kita sedang menggebu dalam mencintai seseorang maka sebenarnya pada saat yang sama Allah sedang menyiksa hati kita. Sebab dalam hati kita sudah masuk Cinta kepada selain Allah. Maka barang siapa yang dalam hatinya sudah masuk Cinta kepada selain Allah tidak bisa tidak Cintanya itu merupakan siksa bagi hatinya. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Semangat mencintai selain Allah meskipun yang mencintai itu merasakan sensasi cinta yang luar biasa maka pada hakikatnya dia sedang menjalani siksaan hati yang paling berat.
            Tahukah Anda bahwa Orang yang sedang memiliki rasa menggebu-gebu dalam mencintai lawan jenis pada hakikatnya dia memiliki derajat yang hina? Akan tetapi karena Asyiknya menikmati rasa itu, dia tidak menyadari posisi derajatnya. Bagaimana tidak hina?, seseorang yang sudah diperbudak oleh Cinta kepada selain Allah sejatinya dia sudah tidak lagi menjadi hamba Allah. Mana yang lebih mulia? Hamba Allah ataukah Hamba selain Allah? Hati seseorang yang begitu bersemangat dalam mencintai selain Allah tak lebih bagai seekor burung kecil yang berada dalam genggaman seorang anak yang sedang bermain.
            Rasa menggebu dalam mencintai lawan jenis juga dapat mengakibatkan tertinggalnya kita dalam mencapai tujuan hidup. Bagaimana tidak? Karena tujuan hidupnya menjadi pendek, Life is only for Love. Tidak ada sesuatu yang lebih merusak kebaikan dunia dan akhirat dari pada Cinta ini. Cinta ini mengakibatkan kita memikirkan hal yang tidak perlu dan belum saatnya sehingga muncul kebingungan yang luar biasa tentang bagaimana mencapai angan-angan yang belum saatnya itu. Dari sinilah kemudian pikiran dan hati kita bercabang sehingga tidak dapat fokus pada satu prioritas hidup.
            Selain itu, Siksa dunia dan Siksa akhirat akan mudah menghampiri orang yang begitu memberikan prioritas Cinta kepada makhluk dari pada Cinta kepada Allah. Cobaan ini dalam menghantam mereka yang lebih mencintai sesuatu selain Allah seperti yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah adalah seperti Kayu yang kering dilemparkan kedalam nyala api yang membara. Apa sebabnya? Karena sesungguhnya Hati ketika dekat dengan Cinta yang menggebu kepada selain Allah maka pada saat yang sama Hati itu menjauh dari Allah, sejauh-jauhnya hati adalah hati yang berpaling pada sesuatu selain Allah. Ketika Hati itu jauh dari Allah maka datanglah siksa dari berbagai arah dalam hidupnya.
            Dengan Cinta seperti ini Hati seorang manusia akan rusak karena jauh dari fithrah yang sesungguhnya. Karena jauh dari fithrahnya maka hati akan mudah dimasuki oleh Waswas atau keragu-raguan dan godaan dalam segala hal yang ditimbulkan oleh Syaithan. Ketika ini terjadi maka Akal orang itu akan rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Sementara sesuatu yang paling mulia yang terdapat dalam diri manusia adalah akalnya karena dengan akal itulah Manusia dapat dibedakan dengan Hewan. Maka jika akalnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi lantas apa bedanya Manusia yang seperi itu dengan Hewan. Bahkan terkadang Hewan lebih baik dari Manusia yang kehilangan akalnya.
            Percayakah Anda bahwa Cinta yang seperti ini juga dapat merusak panca indera? Hal ini ditegaskan oleh Rasul “Hubbuka syaii yu’maa wa yashummu” (Al Hadist) “Cintamu terhadap sesuatu dapat membutakan dan membuat tuli” (Al Hadist). Jadi terkadang kita melihat sesuatu yang jelek dari apa yang kita cintai tapi karena kecintaan yang berlebihan itu kita menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, sikap kita tidak lagi objektif dalam menilai sesuatu jika motifnya adalah Cinta kepada selain Allah. Mengapa demikian? Karena jika hati kita sudah rusak, maka rusak pulalah mata, telinga, dan lisan kita. Kecintaan yang sangat, dapat menutup hati kita dan mencegah kita untuk dapat melihat sesuatu yang sebenarnya. Dari itu Wahai Saudaraku! Mari kita tata kembali jikalau ada dalam hati kita sebuah Cinta yang salah, sebuah Cinta yang menjadikan kita meninggalkan Cinta yang seharusnya.