Sabtu, 19 Januari 2013

Kepada siapakah aku harus berikan Cinta ini?



            Disadari atau tidak, Kebanyakan dari kita hari ini ternyata lebih memposisikan Allah sebagai “Kekasih yang tak dianggap”. Kita lebih mencintai diri kita, Kita lebih mencintai pasangan kita, Kita lebih mencintai pekerjaan kita, Kita lebih memilih mencintai sesuatu selainNya ketimbang berusaha mencurahkan seluruh Cinta yang kita miliki kepadaNya. Padahal sesungguhnya jika kita mencoba untuk memahami realita yang sebenarnya, maka Aktor Utama dalam eksistensi diri kita adalah Allah. Dia yang membuat kita menjadi ada. Logikanya Adalah suatu Kewajiban bagi kita untuk lebih memprioritaskan Cinta kita kepada Sesuatu yang membuat kita ada ketimbang kita mencintai sesuatu selainNya.
            Dalam Kitab Jawaabul Kaafii karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dikatakan bahwa Kita tidak akan pernah bisa menyatukan antara Cinta kepada Allah dan Cinta kepada selain Allah. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Sebab Allah katakan dalam Alqur’an “Maa ja’lalahu lirajulin min Qalbaini fii jaufih” (Al Ahzab:4) “Tidaklah Allah menciptakan dua hati dalam dada seseorang” (Al Ahzab:4). Hati manusia yang satu itu terlalu sempit untuk dapat diisi oleh dua hal. Ketika Cinta harus memilih. Maka dia harus memilih antara Allah atau selain Allah. Namun pernyataan ini hendaknya jangan diartikan sebagai gerakan anti menikah atau anti terhadap pekerjaan akan tetapi harus dipahami bahwa Kita harus menikah namun janganlah cinta kita kepada pasangan melebihi cinta kepada Yang menciptakan pasangan kita, janganlah cinta kita kepada pekerjaan melebihi cinta kepada Yang memberikan pekerjaan kepada kita yaitu Allah. Yang dimaksud oleh penulis adalah Hubb Thabi’i atau Cinta Tabiat yang merupakan sesuatu yang mubah—seperti cinta kita kepada lawan jenis, cinta kepada pekerjaan, atau cinta kita kepada diri kita sendiri—sejatinya tidak boleh melebihi Hubb Syar’i atau Cinta Syara’ yang merupakan kewajiban—seperti cinta kepada Allah dan cinta kepada Rasul—
            Porsi Cinta Tabiat tidak diperkenankan melebihi porsi Cinta Syara’ dikarenakan Allah katakan dalam Alqur’an “Innallaha laa yaghfiruu an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzalika liman yasyaa” (An Nisaa:48) “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukanNya dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi orang yang Dia kehendaki” (An Nisaa:48). Penulis menganggap bahwa ‘menyekutukan’ disini juga termasuk dalam menyekutukan Cinta kepadaNya. Kita sebagai makhluk yang keberadaan kita adalah atas prakarsa dari Allah maka tidaklah pantas apabila kita menduakan Cinta kita kepada selain Allah. Yang harus kita lakukan sebagai balas budi kepada Dia yang dengan cinta kasihNya membuat kita dari nothing  menjadi something adalah dengan mentauhidkan cinta kita kepadaNya. Haram bagi kita membuat tandingan cinta-cinta yang lain. Dalam ayat lain Allah katakan “Waminan naasi man yattakhidzu min duunillahi andaada yuhibbuunahum kahubbillah walladziina aamanuu asyaddu hubban lillah” (Al Baqarah:168) “Dari sebagian manusia itu ada mereka yang menjadikan kepada selain Allah sebagai tandingan-tandingan kepada Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah dan orang-orang yang beriman adalah amat sangat mencintai Allah” (Al Baqarah:168).
            Jelaslah bahwa apabila kita masih ingin tergolong kepada golongan orang beriman. Maka konsekuensi logisnya adalah mau tidak mau kita harus menempatkan Cinta kepada Allah diatas Cinta kepada segalanya. Kita tempatkan Cinta kepada selain Allah cukup sewajarnya saja. Tak perlu kecewa apabila pada suatu saat yang kita cintai selain Allah itu pergi meninggalkan kita. Toh dia adalah makhluk yang tidak memiliki dimensi kesempurnaan. Bukankah kita memiliki Yang Maha Sempurna, Yang Maha Indah, Yang Maha Tunggal. Dialah Allah yang meski kita berbuat dosa Dia tidak mengurangi jatah nafas kita dalam sehari-harinya.
            Sangat pantas apabila prioritas cinta kita adalah Allah. Karena sebenarnya Dialah cinta pertama seluruh makhluk yang ada dijagat raya ini. Sebelum satu makhluk mengenal makhluk yang lain, sesuatu yang pertama kali dia kenal adalah Allah. Allah katakan ketika Dia mengambil anak Adam dalam bentuk seperti semut dari tulang belakang Nabi Adam dalam kitabnya yang suci itu “Waidz akhadznaa rabbuka min banii aadama min dzuhuurihim dzurriyyatahum waasyhadahum ’alaa anfusihim alastu birabbikum qaaluu balaa syahidnaa” (Al A’raaf:172). “Dan (ingat) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka seraya Allah berkata ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab ‘Benar Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi’. (Al A’raaf:172). Sangatlah logis apabila kita apabila kita lebih mencintai Tuhan kita dan tidak menjadikan sesuatu selainNya sebagai Tuhan yang kita puja.
Orang mengatakan Cinta pertama itu sulit dilupakan, jika premis ini benar lantas Mengapa dengan gampangnya kita lupakan Cinta pertama kita? Sejatinya Allah adalah cinta sejati kita sedangkan kita semua tahu bahwa Sesuatu yang bernama Cinta sejati itu mengharuskan kita untuk setia terhadap cinta itu. Setiap Cinta yang selain kepada Cinta yang sejati itu akan berakibat kelanggengan dalam kesengsaraan.
Cinta Tabiat yang contohnya penulis sampaikan pada halaman pertama makalah ini, akan membunuh Cinta yang lebih memiliki manfaat dari Cinta Tabiat maka Kiranya adalah Wajib bagi kita untuk memilih satu diantara dua cinta itu. Tabiat atau Syar’i? jika kita berpaling dari Cinta kepada Allah maka Allah akan memberikan kita sebuah adzab yaitu dengan menanamkan Cinta kepada selainNya dalam hati kita dan akibat dari ‘Cinta Terlarang’ itu bisa kita temui didunia atau pun diakhirat kelak. Siksa itu dapat berupa Allah menyiksa kita dengan menjadikan kita Pecinta Berhala atau Pecinta Api atau Pecinta Wanita atau Pecinta Dosa atau pun Cinta lain yang derajatnya begitu hina dimata Allah. Karena sejatinya Manusia adalah budak dari apa yang dia cintai. Begitu kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Jawaabul Kaafii. Pilih mana? Menjadi budak Tuhan atau budak selainNya? Allah katakan dalam Al qur’an “Afaraita man ittakhadza ilaahahu hawaahu waadhallahullahu ‘ala ‘ilmin wakhatama ‘alaa sam’ihi waqalbihi waja’ala ‘alaa basharihi ghisyaawah faman yahdiihi min ba’dillahi afalaa tadzakkaruun (Al Jaatsiyah:23) “Apakah engkau pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah membuatnya sesat. Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran” (Al Jaatsiyah:23). Orang yang memilih selain cinta kepada Allah sama saja dengan mereka yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka barang siapa yang Cinta Syar’inya lebih besar dari Cinta Tabiat maka dia akan berhasil dalam mengendalikan Cinta yang kedua itu atau sesuatu yang lain yang diakibatkan oleh Cinta itu serta sesuatu yang dapat mengantarnya kepada Cinta itu. Dalam hidupnya tak akan pernah ada Cinta buta terhadap sesuatu selain Allah. Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki istri, Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki pekerjaan, Penulis tidak melarang pembaca untuk menjadi orang kaya. Akan tetapi maksud penulis adalah jangan sampai kepemilikan kita terhadap istri, kepemilikan kita terhadap pekerjaan, dan kepemilikan kita terhadap kekayaan menjadi penghalang dalam Cinta kita kepada Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina aamanuu Laa tulhikum amwalukum walaa auladukum ‘an dzikrillahi waman yaf’al dzalika faulaaika humul khaasiruun” (Al Munaafiquun:9). “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barang iapa yang berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi”. (Al Munaafiquun:9)
Maksud dari ayat ini adalah jangan sampai ada dominasi Cinta kepada selain Allah atas cinta pada Allah. Sesuatu yang bersifat profan semisal harta dan keluarga tidak boleh mendapat porsi yang lebih besar dihati kita daripada sesuatu yang bersifat kekal. Cinta yang terkontaminasi Cinta lain adalah tidak dapat dikategorikan kedalam Cinta yang suci. Dan sejatinya Cinta suci itu kita persembahkan untuk Allah semata. Akan tetapi berbeda konteksnya ketika kita berbicara Cinta karena Allah. Yaitu kita menaruh Cinta yang lain dihati kita tapi masih dalam koridor Cinta kepada Allah semisal Cinta kita kepada Rasul atau Cinta kepada Malaikat atau pun Cinta kepada Kitab Allah. Cinta-cinta yang demikian sejatinya kita bungkus dengan Cinta kepada Allah. Mengapa demikian? Jawabannya karena Allah pun mencintai mereka. Misalnya Jika kita mencintai seseorang maka kita pun harus belajar mencintai apa yang dia cintai, contohnya saja dia memiliki hobi menonton film romantis maka kita harus belajar untuk menyukai hal yang sama. Premis ini berlaku atas Cinta kita kepada Allah. Karena Itu adalah Cinta dijalan Allah dan karena Allah.
Penulis ingin mengetengahkan hadist yang termaktub dalam Kitab Jawaabul Kaafii. “Tsalatsun man kunna fiihi wajada bihinna halawatal iiman: An yakuunallahu wa rasuuluhu ahabba ilaihi minma siwaahuma. Wa anyuhibbul mar’a layuhibbuha illa lillahi. Wa anyukraha anyarji’a ilalkufri ba’da an qadahullahu minhu kama yukrahu an yuqdafa finnari” (Al Hadist). “Ada tiga sikap yang bagi siapapun yang berada dalam sikap seperti itu maka dia akan menemukan kelezatan iman: Allah dan RasulNya harus lebih dicintai dari selain mereka, Harus mencintai dan tidak mencintai karena Allah, Harus tidak menyukai untuk kembali berada dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak menyukai untuk dilemparkan kedalam api” (Al Hadist).
Dalam hadist diatas tersirat bahwa Kita boleh mencintai sesuatu selain Allah selagi sesuatu itu tidak menarik kita kedalam kekafiran dan juga kekufuran karena dua hal itu malah akan mengikis Cinta kita kepada Allah. Cinta sewajarnya adalah porsi yang pantas untuk Cinta kepada selain Allah. Dan Cinta dengan sepenuh hati adalah Cinta yang seharusnya kita persembahkan untuk Rabb yang menciptakan kita. Termasuk didalamnya adalah cinta kita kepada lawan jenis atau pasangan kita. Sampai-sampai Ibnu Qayyim Al Jauziyah  mengatakan bahwa “Mahabbatun Nisaa min kamalil insan” “Mencintai wanita adalah bagian dari kesempurnaan seorang Lelaki”. Artinya adalah sesuatu yang lumrah apabila dalam hati seorang laki-laki timbul ‘cinta birahi’ terhadap seorang wanita. Karena jika laki-laki mencintai laki-laki adalah suatu hal yang abnormal dan jika kita kaitkan dengan ucapan Ibnu Qayyim maka itu adalah simbol ketidaksempurnaan. Namun tentunya segala hal yang menyangkut Cinta itu harus berada dalam koridor agama untuk mengejawantahkannya,
Cinta yang masih dalam batas kewajaran kepada sesuatu selain Allah sejatinya dapat dijadikan sebagai instrumen dalam berma’rifat kepada Allah, ini dapat dilakukan dengan cara menyadari bahwa dalam sesuatu yang kita cintai itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Misalnya saja ketika seorang suami yang mencintai istrinya suatu saat memandang wajah istrinya yang cantik itu kemudian berkata “Subhanallah Yang telah menciptakan keindahan dalam diri istriku, sesuatu yang Kau ciptakan ini sudah sangat indah apalagi Engkau Yang menciptakan semua ini, Tentu keindahanMu tiada bandingan”. Itu adalah satu contoh saja, Coba kita sadari bahwa dalam setiap sesuatu yang kita cintai dan bahkan yang tidak kita cintai, pasti selalu ada aktor utama sekaligus sutradara merangkap produser. Dialah Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar