Barang siapa
yang mencintai sesuatu, maka hatinya diperbudak oleh sesuatu yang dia cintai
itu. Cinta itu menjadi alasan dia untuk mengambil keputusan dan bertindak.
Terkadang akal sehat tergerus oleh besarnya abrasi cinta yang menggulung dalam
hati seseorang, namun tahukah kita sudah sampai manakah derajat kecintaan kita
kepada Dzat yang paling berhak untuk menerima cinta kita? Atau memang
pertanyaan itu tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran kita? Atau
jangan-jangan cinta kita kepada Allah masih sebatas Cinta yang dangkal? Mari kita
cek sudah sampai manakah cinta itu mengalir.
Cinta
sebenarnya memiliki level jika dilihat dari kualitas kecintaan kita pada apa
yang kita cintai. Ada yang disebut dengan Terpesona atau Tatayyum, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menggolongkan ini kedalam rasa
cinta karena disinilah sesungguhnya mulai pertama kali muncul keterikatan sang pecinta dengan apa
yang dia lihat dari sesuatu yang dia cintai atau mungkin Orang sering
menyebutnya dengan jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Pernahkah kita
terpesona dengan Allah dan segala keagunganNya? Pernahkah kita merasa bahwa
sesuatu yang selama ini kita kagumi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding
dengan apa yang ada pada Allah? Bahkan apa yang ada pada diri kita pun sangat
tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Keagungan Allah, karena jika
kita memikirkan lebih dalam, jasad dan ruh kita adalah pemberian dari Allah,
pernahkah kita merasakan itu dan timbul dalam perasaan kita bahwa Allah memang
memiliki kuasa atas segalanya sehingga muncul PesonaNya dalam hati kita yang
mulai menyirami benih-benih cinta kepadaNya. Setelah rasa ini sempurna maka
akan datang rasa Shababah atau
Suasana hati yang sayu karena rasa ingin bertemu dengan apa yang kita cintai.
Dari sinilah
akan tumbuh sesuatu yang Ibnu Qayyim Al Jauziyyah katakan sebagai Gharaam atau Kecintaan yang mulai
menyiksa hati kita ketika kita tidak bisa bertemu dengan apa yang kita cintai
itu yaitu Allah. Sebuah kecintaan yang hati kita tidak dapat lepas dari cinta
itu dan Cinta itu menjadi kuncian bagi hati kita sehingga memaksa cinta lain
untuk tidak bisa masuk karena hati kita sudah terisi. Cinta yang seperti inilah
yang sejatinya harus kita curahkan pada Allah bukan dengan gampangnya kita
berikan rasa yang luar biasa ini kepada selain Allah. Sebab sesuatu selain
Allah tidak akan dapat membalas rasa yang persis sama dengan rasa yang kita
kita berikan karena terkadang didalamnya selalu ada motif yang merupakan
pertanda ketidaksucian cinta balasan itu.
Kemudian
setelah Gharaam akan muncul rasa ‘Isyq atau semangat dalam mencurahkan
cinta karena pesona yang Allah timbulkan itu bersifat kekal tidak seperti
pesona-pesona yang lain yang bisa termakan oleh zaman. Rasa ini akan senantiasa
menimbulkan semangat untuk menjalankan ibadah dengan tanpa pamrih dari Allah—dengan
tidak mengharap surga atau ingin diselamatkan dari siksa neraka—karena motifnya
adalah cinta yang menimbulkan pengabdian dari sang pecinta terhadap apa yang
dia cintai.
Rasa ini
akan diikuti oleh rasa Syauq atau
Kerinduan yang Ibnu Qayyim definisikan sebagai Perjalanan hati sang pecinta
kepada apa yang dia cintai, meski jasadnya ada disuatu tempat akan tetapi
hatinya senantiasa mencari obat penawar rindu—kepada Allah—yang dia alami, bisa
dengan banyak cara tentunya dengan membaca Alqur’an karena itu adalah salah
satu cara berdialog dengan Allah, sebab Rasul katakan “Man araada an
yatakallama ma’allahi fal yaqrail Qur’an” “Barang siapa yang ingin
berbincang-bincang dengan Allah maka bacalah Alqur’an” Mengapa Rasul berkata
seperti ini? Karena segala sesuatu yang ingin kita ketahui semuanya termaktub
dengan jelas dalam Alqur’an. Ketika kita mentadaburi
makna Qur’an maka ada rasa yang tertanam dalam hati kita, rasa tentram,
damai, seolah hanya ada kita dan Allah, kita menjadi lebih mudah untuk
meneteskan air mata tapi bukan karena cengeng akan tetapi karena ternyata
dengan membaca sambil mendalami Kitab Allah yang suci itu kita akan semakin
mengetahui sudah sampai manakah posisi kita dalam beribadah sehingga dari situ
kita dapat mengetahui betapa teledornya kita dalam menjalankan ibadah kepada
Allah.
Ketika
kesadaran ini tumbuh maka akan ada rasa ingin bertemu dengan Allah. Seperti
diceritakan dalam sebuah Atsar
“Thaala syauqul abraar ilaa wajhika wa anaa ilaa liqaaika asyaddu syauqan”
“Betapa panjangnya kerinduan orang-orang yang telah mengerjakan kebaikan
kepadaMu akan tetapi aku sangat jauh merindukanMu”. Ini merupakan intisari dari
apa yang disampaikan oleh Rasul “Man ahabba liqaallah ahabballahu liqaahu” (Al Hadist) “Barang siapa yang
menginginkan bertemu dengan Allah maka Allah pun menginginkan untuk bertemu
dengannya” (Al Hadist) dan dengan
hadist inilah sebagian ulama ahli ma’rifat menafsirkan sebuah ayat dalam
alqur’an yaitu ayat “Waman kaana yarjuu liqaallahi fainna ajalallahi laat” (Al Ankabuut:5) “Barang siapa yang
menginginkan pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan
oleh Allah itu akan datang” (Al
Ankabuut:5). Juga Allah katakan dalam ayat lain bahwa “Man kaana yarjuu
liqaa rabbbihi fal ya’mal ‘amala shaalihan walaa yusyrik bi’ibadati rabbihi
ahadaa” (Al Kahfi:110) “Barang siapa
yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka dia harus mengerjakan amal
shaleh dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam melakukan ibadah kepada
Tuhannya” (Al Kahfi:110).
Pada
hakikatnya semua ibadah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam adalah
instrumen untuk senantiasa seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Penulis memiliki seorang kawan dan pada suatu saat kami berbincang-bincang, dia
membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan “Rid, apa kau tahu bahwa sejatinya
setiap mukmin dapat melakukan Mi’raj dan melakukan pertemuan dengan Allah?”
penulis pun terheran dan balik bertanya “Lho? Bagaimana bisa?” tapi dia malah
balik menimpali “Kenapa tidak?” lalu penulis pun kembali bertanya “Kapankah
waktunya itu?” Kawan penulis pun menjawab “Ketika setiap mukmin melakukan
shalat maka pada saat itu pula dia sedang melakukan Mi’raj”. Namun tentunya
bukanlah sembarang shalat yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya
akan tetapi shalat yang khusyuk yang dibarengi dengan mentadaburi setiap bacaan dalam shalat itu serta mencoba
menginternalisasikan makna-makna bacaan shalat itu dalam darah daging kita.
Allah katakan dalam Alqur’an “Qad aflahal mu’minuuna, alladziina hum fi shalatihim
khasyi’uun” (Al Mu’minuun:1-2)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang
khusyuk dalam shalatnya” (Al
Mu’minuun:1-2).
Inilah
pengobat rindu kepada Rabb yang
menciptakan kita, ibadah, ibadah, dan ibadah. Anggaplah Qur’an yang suci itu
sebagai sebuah kumpulan surat cinta dari kekasih yang berisi perhatian Sang
kekasih kepada kita sebab didalamnya berisi larangan kepada kita agar kita
tidak melakukan hal yang sifatnya destruktif dan merupakan perintah untuk kita
agar melaksanakan hal yang membangun akidah dan kuantitas serta kualitas ibadah
yang merupakan perhatian kita kepada Rabb
yang menciptakan kita.
Ketika rasa
ini sudah mendarah daging maka seorang hamba akan diam karena Allah, berbicara
karena Allah, mendengar karena Allah, memegang karena Allah, berjalan karena
Allah. Seluruh perbuatannya dia curahkan hanya karena Allah. Allah menjadi
motif dalam diam dan dalam bertindaknya.
Level cinta
pun dalam dilihat dari segi hukum yang menaunginya. Ini disampaikan oleh Syaikh
‘Abdur Rahman Ash Shafuri dalam kitab Nuzhatul
Majalis. Beliau mengatakan bahwa Cinta bisa mengandung unsur mubah yaitu mencintai sesama manusia,
juga bisa makruh seperti kita
mencintai dunia, bisa juga memiliki hukum sunnah
yaitu mencintai keluarga bahkan ada yang fardhu
yaitu mencintai Allah dan RasulNya dan cinta inilah yang memiliki Tautologi
yang kuat karena tidak bisa kita mencintai Allah tanpa kita mencintai Rasul dan
tidak bisa kita hanya mencintai Rasul tanpa mencintai Allah. Allah katakan
dalam Alqur’an “Qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullahu” (Ali Imran:31) “Katakanlah jika kalian
mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” (Ali Imran:31). Ternyata terdapat syarat
dalam kita mencintai Allah yaitu kita harus menaati apa yang diperintahkan oleh
rasul dan menjauhi segala apa yang beliau cegah. Mengapa demikian? Sebab segala
sesuatu yang beliau perintahkan untuk dikerjakan dan sesuatu yang beliau
perintahkan untuk kita jauhi semuanya adalah bersumber dari wahyu Allah karena
seorang nabi tidak akan pernah bertindak, berucap, bahkan berkehendak kecuali
atas apa yang Allah perintahkan kepadanya. Dalam hal ini Allah katakan dalam
Alqur’an “Wamaa yanthiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa” (An Najm:3-4). “Dan tidaklah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (An
Najm:3-4). Maka ketika kita menaati apa-apa yang dikatakan rasul maka
hakikatnya pada saat itu pula kita sudah menaati apa-apa yang diperintahkan
oleh Allah.
Dari uraian
ini dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa ternyata barang siapa yang
memproklamirkan diri bahwa dia mencintai Allah kemudian dia tidak taat kepada
rasul maka pada saat yang sama kita sudah bisa mengetahui bahwa Cinta yang
selama ini dia gembar-gemborkan ternyata tak lebih dari sekedar dusta belaka.
Karena bagaimana pun Cinta membutuhkan pengabdian kepada apa yang dicintai
tanpa itu Cinta hanya akan ada dalam baris dan bait puisi untuk bisa dinikmati
sebagai penghias bibir. Syaikh Hasan Al Bishri mengatakan bahwa ayat ke 31 dari
surat Ali Imran diatas merupakan ujian bagi mereka yang mengaku mencintai
Allah. Cinta memang harus diuji untuk mengetahui sampai manakah kadar kecintaan
seseorang kepada Allah. Apakah cinta itu masih sebatas Cinta yang dangkal? Atau
jika berhasil lulus ujian itu apakah cinta itu sudah dapat digolongkan kedalam
Cinta yang dalam? Yang jelas Cinta selalu membutuhkan pembuktian. Ini berarti
Tidak ada Cinta yang tak bersyarat.
Untuk mempertinggi
level kecintaan, maka Cinta pun harus dipupuk dan dipelihara. Bagaimanakah
caranya? Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan bahwa Rasa Cinta akan semakin
tumbuh dan berkembang apabila kita sering bertemu dengan apa yang kita cintai.
Jika premis yang disampaikan seperti ini maka sesungguhnya ada banyak cara
untuk kita memupuk rasa cinta kepada Allah, salah satunya adalah dengan apa
yang tadi sudah penulis sampaikan diatas bahwa Shalat dapat membawa seorang
hamba untuk Mi’raj dan bertemu dengan Allah. Ini berarti dengan memperbanyak
shalat kita dapat memupuk rasa cinta kepada Allah karena dengan itu kita dapat
sering bertemu dengan Allah, atau contoh lainnya dengan banyak membaca Alqur’an
karena seperti penulis katakan diatas bahwa dengan membaca Kitab suci itu
berarti kita berbincang-bincang dengan Allah. Maka dengan semakin seringnya
kita membaca Alqur’an maka semakin sering pula kita berbincang-bincang dengan
Allah dari situlah Cinta kepada Allah akan tumbuh subur dan melembaga didalam
darah daging kita sebagai hamba. Tentu tidak hanya dengan dua cara diatas
karena masih ada cara-cara yang lain dengan tidak meninggalkan cara ini. Sebab
sejatinya seluruh substansi ibadah dalam islam didesaign untuk menciptakan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya,
hanya berbeda dari segi teknisnya saja karena masing-masing memiliki syarat dan
rukun yang sudah diatur oleh aturan Syara’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar