Disadari atau tidak,
Kebanyakan dari kita hari ini ternyata lebih memposisikan Allah sebagai
“Kekasih yang tak dianggap”. Kita lebih mencintai diri kita, Kita lebih
mencintai pasangan kita, Kita lebih mencintai pekerjaan kita, Kita lebih
memilih mencintai sesuatu selainNya ketimbang berusaha mencurahkan seluruh
Cinta yang kita miliki kepadaNya. Padahal sesungguhnya jika kita mencoba untuk
memahami realita yang sebenarnya, maka Aktor Utama dalam eksistensi diri kita
adalah Allah. Dia yang membuat kita menjadi ada. Logikanya Adalah suatu
Kewajiban bagi kita untuk lebih memprioritaskan Cinta kita kepada Sesuatu yang
membuat kita ada ketimbang kita mencintai sesuatu selainNya.
Dalam Kitab Jawaabul Kaafii karya Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dikatakan bahwa Kita tidak akan pernah bisa menyatukan antara Cinta
kepada Allah dan Cinta kepada selain Allah. Pernyataan ini bukanlah tanpa
dasar. Sebab Allah katakan dalam Alqur’an “Maa ja’lalahu lirajulin min Qalbaini
fii jaufih” (Al Ahzab:4) “Tidaklah
Allah menciptakan dua hati dalam dada seseorang” (Al Ahzab:4). Hati manusia yang satu itu terlalu sempit untuk dapat
diisi oleh dua hal. Ketika Cinta harus memilih. Maka dia harus memilih antara
Allah atau selain Allah. Namun pernyataan ini hendaknya jangan diartikan
sebagai gerakan anti menikah atau anti terhadap pekerjaan akan tetapi harus
dipahami bahwa Kita harus menikah namun janganlah cinta kita kepada pasangan
melebihi cinta kepada Yang menciptakan pasangan kita, janganlah cinta kita
kepada pekerjaan melebihi cinta kepada Yang memberikan pekerjaan kepada kita
yaitu Allah. Yang dimaksud oleh penulis adalah Hubb Thabi’i atau Cinta Tabiat yang merupakan sesuatu yang
mubah—seperti cinta kita kepada lawan jenis, cinta kepada pekerjaan, atau cinta
kita kepada diri kita sendiri—sejatinya tidak boleh melebihi Hubb Syar’i atau Cinta Syara’ yang
merupakan kewajiban—seperti cinta kepada Allah dan cinta kepada Rasul—
Porsi Cinta
Tabiat tidak diperkenankan melebihi porsi Cinta Syara’ dikarenakan Allah
katakan dalam Alqur’an “Innallaha laa yaghfiruu an yusyraka bihi wayaghfiru maa
duuna dzalika liman yasyaa” (An Nisaa:48)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukanNya dan Dia mengampuni
dosa selain itu bagi orang yang Dia kehendaki” (An Nisaa:48). Penulis menganggap bahwa ‘menyekutukan’ disini juga
termasuk dalam menyekutukan Cinta kepadaNya. Kita sebagai makhluk yang
keberadaan kita adalah atas prakarsa dari Allah maka tidaklah pantas apabila
kita menduakan Cinta kita kepada selain Allah. Yang harus kita lakukan sebagai
balas budi kepada Dia yang dengan cinta kasihNya membuat kita dari nothing menjadi something
adalah dengan mentauhidkan cinta kita
kepadaNya. Haram bagi kita membuat tandingan cinta-cinta yang lain. Dalam ayat
lain Allah katakan “Waminan naasi man yattakhidzu min duunillahi andaada
yuhibbuunahum kahubbillah walladziina aamanuu asyaddu hubban lillah” (Al Baqarah:168) “Dari sebagian manusia
itu ada mereka yang menjadikan kepada selain Allah sebagai tandingan-tandingan
kepada Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah dan orang-orang
yang beriman adalah amat sangat mencintai Allah” (Al Baqarah:168).
Jelaslah
bahwa apabila kita masih ingin tergolong kepada golongan orang beriman. Maka
konsekuensi logisnya adalah mau tidak mau kita harus menempatkan Cinta kepada
Allah diatas Cinta kepada segalanya. Kita tempatkan Cinta kepada selain Allah
cukup sewajarnya saja. Tak perlu kecewa apabila pada suatu saat yang kita
cintai selain Allah itu pergi meninggalkan kita. Toh dia adalah makhluk yang tidak memiliki dimensi kesempurnaan.
Bukankah kita memiliki Yang Maha Sempurna, Yang Maha Indah, Yang Maha Tunggal.
Dialah Allah yang meski kita berbuat dosa Dia tidak mengurangi jatah nafas kita
dalam sehari-harinya.
Sangat
pantas apabila prioritas cinta kita adalah Allah. Karena sebenarnya Dialah
cinta pertama seluruh makhluk yang ada dijagat raya ini. Sebelum satu makhluk
mengenal makhluk yang lain, sesuatu yang pertama kali dia kenal adalah Allah. Allah
katakan ketika Dia mengambil anak Adam dalam bentuk seperti semut dari tulang
belakang Nabi Adam dalam kitabnya yang suci itu “Waidz akhadznaa rabbuka min
banii aadama min dzuhuurihim dzurriyyatahum waasyhadahum ’alaa anfusihim alastu
birabbikum qaaluu balaa syahidnaa” (Al
A’raaf:172). “Dan (ingat) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka seraya Allah berkata
‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab ‘Benar Engkau adalah Tuhan kami,
kami menjadi saksi’. (Al A’raaf:172).
Sangatlah logis apabila kita apabila kita lebih mencintai Tuhan kita dan tidak
menjadikan sesuatu selainNya sebagai Tuhan yang kita puja.
Orang mengatakan Cinta pertama itu sulit dilupakan, jika
premis ini benar lantas Mengapa dengan gampangnya kita lupakan Cinta pertama
kita? Sejatinya Allah adalah cinta sejati kita sedangkan kita semua tahu bahwa
Sesuatu yang bernama Cinta sejati itu mengharuskan kita untuk setia terhadap
cinta itu. Setiap Cinta yang selain kepada Cinta yang sejati itu akan berakibat
kelanggengan dalam kesengsaraan.
Cinta Tabiat yang contohnya penulis sampaikan pada halaman
pertama makalah ini, akan membunuh Cinta yang lebih memiliki manfaat dari Cinta
Tabiat maka Kiranya adalah Wajib bagi kita untuk memilih satu diantara dua
cinta itu. Tabiat atau Syar’i? jika kita berpaling dari Cinta kepada Allah maka
Allah akan memberikan kita sebuah adzab
yaitu dengan menanamkan Cinta kepada selainNya dalam hati kita dan akibat dari
‘Cinta Terlarang’ itu bisa kita temui
didunia atau pun diakhirat kelak. Siksa itu dapat berupa Allah menyiksa kita
dengan menjadikan kita Pecinta Berhala atau Pecinta Api atau Pecinta Wanita
atau Pecinta Dosa atau pun Cinta lain yang derajatnya begitu hina dimata Allah.
Karena sejatinya Manusia adalah budak dari apa yang dia cintai. Begitu kata
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Jawaabul
Kaafii. Pilih mana? Menjadi budak Tuhan atau budak selainNya? Allah katakan
dalam Al qur’an “Afaraita man ittakhadza ilaahahu hawaahu waadhallahullahu ‘ala
‘ilmin wakhatama ‘alaa sam’ihi waqalbihi waja’ala ‘alaa basharihi ghisyaawah
faman yahdiihi min ba’dillahi afalaa tadzakkaruun (Al Jaatsiyah:23) “Apakah engkau pernah melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk setelah Allah membuatnya sesat. Maka mengapa kalian tidak mengambil
pelajaran” (Al Jaatsiyah:23). Orang
yang memilih selain cinta kepada Allah sama saja dengan mereka yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhan. Na’udzubillahi
min dzalik.
Maka barang siapa yang Cinta Syar’inya lebih besar dari Cinta
Tabiat maka dia akan berhasil dalam mengendalikan Cinta yang kedua itu atau
sesuatu yang lain yang diakibatkan oleh Cinta itu serta sesuatu yang dapat
mengantarnya kepada Cinta itu. Dalam hidupnya tak akan pernah ada Cinta buta
terhadap sesuatu selain Allah. Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki
istri, Penulis tidak melarang pembaca untuk memiliki pekerjaan, Penulis tidak
melarang pembaca untuk menjadi orang kaya. Akan tetapi maksud penulis adalah
jangan sampai kepemilikan kita terhadap istri, kepemilikan kita terhadap
pekerjaan, dan kepemilikan kita terhadap kekayaan menjadi penghalang dalam
Cinta kita kepada Allah. Allah katakan dalam Alqur’an “Yaa ayyuhalladziina
aamanuu Laa tulhikum amwalukum walaa auladukum ‘an dzikrillahi waman yaf’al
dzalika faulaaika humul khaasiruun” (Al
Munaafiquun:9). “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barang iapa yang berbuat
demikian maka merekalah orang-orang yang merugi”. (Al Munaafiquun:9)
Maksud dari ayat ini adalah jangan sampai ada dominasi Cinta
kepada selain Allah atas cinta pada Allah. Sesuatu yang bersifat profan semisal
harta dan keluarga tidak boleh mendapat porsi yang lebih besar dihati kita
daripada sesuatu yang bersifat kekal. Cinta yang terkontaminasi Cinta lain
adalah tidak dapat dikategorikan kedalam Cinta yang suci. Dan sejatinya Cinta
suci itu kita persembahkan untuk Allah semata. Akan tetapi berbeda konteksnya
ketika kita berbicara Cinta karena Allah. Yaitu kita menaruh Cinta yang lain
dihati kita tapi masih dalam koridor Cinta kepada Allah semisal Cinta kita
kepada Rasul atau Cinta kepada Malaikat atau pun Cinta kepada Kitab Allah.
Cinta-cinta yang demikian sejatinya kita bungkus dengan Cinta kepada Allah.
Mengapa demikian? Jawabannya karena Allah pun mencintai mereka. Misalnya Jika
kita mencintai seseorang maka kita pun harus belajar mencintai apa yang dia
cintai, contohnya saja dia memiliki hobi menonton film romantis maka kita harus
belajar untuk menyukai hal yang sama. Premis ini berlaku atas Cinta kita kepada
Allah. Karena Itu adalah Cinta dijalan Allah dan karena Allah.
Penulis ingin mengetengahkan hadist yang termaktub dalam
Kitab Jawaabul Kaafii. “Tsalatsun man
kunna fiihi wajada bihinna halawatal iiman: An yakuunallahu wa rasuuluhu ahabba
ilaihi minma siwaahuma. Wa anyuhibbul mar’a layuhibbuha illa lillahi. Wa
anyukraha anyarji’a ilalkufri ba’da an qadahullahu minhu kama yukrahu an
yuqdafa finnari” (Al Hadist). “Ada
tiga sikap yang bagi siapapun yang berada dalam sikap seperti itu maka dia akan
menemukan kelezatan iman: Allah dan RasulNya harus lebih dicintai dari selain
mereka, Harus mencintai dan tidak mencintai karena Allah, Harus tidak menyukai
untuk kembali berada dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari
kekafiran itu sebagaimana dia tidak menyukai untuk dilemparkan kedalam api” (Al Hadist).
Dalam hadist diatas tersirat bahwa Kita boleh mencintai
sesuatu selain Allah selagi sesuatu itu tidak menarik kita kedalam kekafiran
dan juga kekufuran karena dua hal itu malah akan mengikis Cinta kita kepada
Allah. Cinta sewajarnya adalah porsi yang pantas untuk Cinta kepada selain Allah.
Dan Cinta dengan sepenuh hati adalah Cinta yang seharusnya kita persembahkan
untuk Rabb yang menciptakan kita.
Termasuk didalamnya adalah cinta kita kepada lawan jenis atau pasangan kita.
Sampai-sampai Ibnu Qayyim Al Jauziyah
mengatakan bahwa “Mahabbatun Nisaa min kamalil insan” “Mencintai wanita
adalah bagian dari kesempurnaan seorang Lelaki”. Artinya adalah sesuatu yang
lumrah apabila dalam hati seorang laki-laki timbul ‘cinta birahi’ terhadap
seorang wanita. Karena jika laki-laki mencintai laki-laki adalah suatu hal yang
abnormal dan jika kita kaitkan dengan ucapan Ibnu Qayyim maka itu adalah simbol
ketidaksempurnaan. Namun tentunya segala hal yang menyangkut Cinta itu harus
berada dalam koridor agama untuk mengejawantahkannya,
Cinta yang masih dalam batas kewajaran kepada sesuatu selain
Allah sejatinya dapat dijadikan sebagai instrumen dalam berma’rifat kepada
Allah, ini dapat dilakukan dengan cara menyadari bahwa dalam sesuatu yang kita
cintai itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Misalnya saja ketika seorang
suami yang mencintai istrinya suatu saat memandang wajah istrinya yang cantik
itu kemudian berkata “Subhanallah Yang telah menciptakan keindahan dalam diri
istriku, sesuatu yang Kau ciptakan ini sudah sangat indah apalagi Engkau Yang
menciptakan semua ini, Tentu keindahanMu tiada bandingan”. Itu adalah satu
contoh saja, Coba kita sadari bahwa dalam setiap sesuatu yang kita cintai dan
bahkan yang tidak kita cintai, pasti selalu ada aktor utama sekaligus sutradara
merangkap produser. Dialah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar