Cinta
berbalas Cinta
Terkadang
Cinta ini jarang dapat dinikmati oleh orang awam. Cinta ini begitu istimewa
bagi siapapun yang merasakannya, dunia beserta isinya ini sangat tidak berharga
jika seseorang sudah merasakan ni’matnya Cinta ini karena orang tersebut selalu
diselimuti rasa rindu untuk menjalani pertemuan dengan Allah atau bahkan
seseorang bisa dapat betah hidup didunia dan sangat tidak ingin menghadapi
kematian akan tetapi bukan karena Cinta kepada dunia namun karena Dunia baginya
adalah tempat paling indah untuk senantiasa beribadah kepada Allah seperti kita
ketahui disurga kelak tidak akan ada lagi praktek ibadah karena yang ada
hanyalah balasan atas ibadah yang kita lakukan didunia. Begitu betahnya dia
berada dalam Maqam ‘Ubudiyyah atau
posisi kehambaan yang Allah gelarkan kepada manusia sehingga dia tidak ingin
meninggalkan dunia ini.
Menjalankan Maqam ‘Ubudiyyah sejatinya adalah
representasi dari kecintaan kita kepada Allah sehingga ketika seseorang
meninggalkan Maqam ini dengan cara
apakah dia akan kembali membuktikan Cinta itu? Sayyidina ‘Ali pernah berkata
“Mesjid lebih aku sukai dari pada Surga yang Allah berikan”. Kita ketahui bahwa
Mesjid merupakan Baitul ‘Ibadah
(Rumah Ibadah) berbeda dengan Surga yang merupakan Baitul Jazaa (Rumah Pahala). Rumah Ibadah patut lebih kita sukai
karena disanalah tercermin kecintaan kita kepada Allah. Dengan Mesjid pula
dapat kita ukur siapakah yang lebih mencintai Allah diantara kita. Berbeda
dengan Surga yang Allah berikan kepada orang yang dia kehendaki. Jadi Mesjid
adalah Ukuran sedangkan Surga dan Neraka merupakan hasil.
Ketika Cinta kita kepada Allah terwakili dengan seringnya
kita mengunjungi Rumah Allah dalam hal ini adalah Mesjid maka Insya
Allah hasil yang nantinya kita peroleh adalah hasil yang diridhoi oleh Allah.
Cinta Allah balas dengan Cinta. Jika group band ‘Drive’ menyanyikan lagu dengan
judul ‘Tak Terbalas’, maka lagu itu tidakk akan pernah berlaku jika kita
menerapkan Cinta kepada Allah. Karena bagi Allah tidak akan pernah ada Cinta
yang tak terbalas, memang Cinta ini bersyarat yaitu Kita harus berbuat
kebaikan, Kita harus senantiasa menjaga kebersihan jasmani dan rohani kita
untuk mendapatkan Cinta itu. Cinta yang bukan Cinta yang dangkal, Cinta yang
bukan Cinta sesaat, Cinta yang tanpa kepalsuan.
Apa yang penulis katakan disini bukanlah sebuah isapan jempol
belaka, akan tetapi didasarkan pada apa yang penulis pahami dalam Alqur’an.
Dalam kitabnya yang suci itu Allah mengatakan “Innallaha yuhibbut Tawwaabiina
wa yuhibbul Mutathahhiriin” (Al
Baqarah:222) “Sesungguhnya Allah mencintai Orang-orang yang bertaubat dan
Orang-orang yang mensucikan diri” (Al
Baqarah:222). Sesuatu yang memiliki Sifat Ketuhanan ternyata dapat
mencintai HambaNya dengan kriteria seperti dalam ayat tersebut. Namun satu yang
perlu kita ketahui bahwa Curahan Cinta yang diberikan oleh Allah tentu berbeda
dengan Cinta yang biasa dirasakan oleh Makhluk. Cinta Allah kepada MakhlukNya
adalah Cinta yang bilaa kaifin atau
tidak dapat kita lukiskan secara riil.
Ada syarat untuk kita dapat mendapat Cinta dari Allah. Yaitu
terlebih dahulu kita harus bertaqarrub
atau mendekatkan diri kita kepadaNya, semacam cari perhatian, jika dibandingkan
dengan ketika kita menaruh rasa suka kepada lawan jenis ada istilah
‘Pendekatan’. Penulis pikir ini tidak jauh beda dalam konteks Cinta kepada
Allah harus ada ‘Pendekatan’ terlebih dahulu. Hanya bedanya jika dalam
mencintai lawan jenis itu peluang untuk cinta kita ditolak pasti ada, namun
dalam konteks Cinta kepada Allah hal ini tidak akan terjadi karena Allah tidak
akan membuat hambaNya patah hati. Ini Allah katakan dalam Hadist Qudsi, Hadist
yang masih merupakan Kalam Allah akan tetapi tidak termasuk dalam Alqur’an maka
dari itu Dari segi periwayatannya Hadist Qudsi pun sama seperti Hadist Nabi
yaitu diriwayatkan oleh Para Ahli Hadist. Dalam Hadist itu dikatakan “Anaa
‘inda dzanni ‘abdii bii wa anaa ma’ahu idzaa dzakaranii fii nafsihi dzakartuhu
fii nafsii wain dzkaranii fii malain dzkartuhu fii malai kahairin minhum wain
taqrraba ilayya bisyibrin taqqarrabtu ilaihi dziraa’an wain taqarraba ilaihi
dziraa’an taqarrabtu ilaihi baa’an wain ataani yamsyii ataituhu harwalatan” (Hadist Qudsi) “Aku adalah seperti
sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatKu, jika dia
mengingatKu dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam DiriKu, jika dia
mengingatKu dalam sebuah perkumpulan Dzikir maka Aku akan mengingatnya dalam
perkumpulan yang lebih baik dari itu, jika dia mendekatiKu sepanjang sejengkal
maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu siku, jika dia mendekatiKu sepanjang
satu siku maka Aku akan mendekatinya sepanjang satu depa, jika dia datang
kepadaKu dengan berjalan maka Aku akan datang padanya dengan berlari” (Hadist Qudsi). Lihatlah setiap
kedekatan kita kepada Allah maka yakinlah Allah lebih dekat dari itu. Jangan
pernah merasa bahwa Ibadah yang selama ini kita lakukan sebagai instrumen
‘Pendekatan’ kepada Allah adalah sebuah kerja yang tanpa makna, akan tetapi
setiap Ibadah yang kita lakukah sejatinya harus kita pahami sebagai hadiah dari
Allah untuk lebih dekat denganNya.
Dalam Hadist Qudsi yang lain dikatakan “Man ‘aada lii
waliyyan faqad adzantuhu bil harbi wamaa taqarraba ilaiyya ‘abdi bisyain ahabba
ilaiyya mimma iftaradhtuhu ‘alaihi walaa yazaaluu ‘abdii yataqarrabu ilaiyya
binnawafil hatta uhibbuhu faidzaa uhibbuhu kuntu sam’ahulladzi yasma’u bihi
wabasharahulladzi yubshiru bihi wayadahullatii yabthisyu biha warijluhullatii
yamsyii bihaa walain saaltanii laathiannahu walainista’adzanii laudziinnahu” (Hadist Qudsi) “Barang siapa yang
memusuhi kekasihKu maka Aku izinkan dia untuk diperangi, dan tidaklah hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu kecuali Aku lebih menyukaiNya dari apa yang Aku
fardhukan kepadanya, dan tidak putusnya hambaKu mendekatkan diri kepadaKu
dengan mengerjakan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya, Maka ketika Aku
mencintainya jadilah Aku pendengarannya yang dengan itu dia mendengar dan
jadilah Aku penglihatannya yang dengan itu dia melihat dan jadilah Aku
tangannya yang dengan itu dia meraih dan jadilah Aku kakinya yang dengan itu
dia dapat berjalan, Jika dia meminta kepadaKu maka Aku akan berikan apa yang
dia minta dan Jika dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku akan
melindunginya” (Hadist Qudsi)
Apakah masih kurang sesuatu yang Allah tawarkan bagi mereka
yang mencintaiNya? Bayangkan jika kita mencintai sesuatu selain Allah. Apa yang
kita dapat? Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang kita cintai itu, jika
sesuatu itu benar-benar hilang maka kesedihanlah yang akan menghampiri kita.
Jadi jelaslah bahwa Cinta yang dalam adalah mencintai kesejatian Cinta Allah
kepada kita. Tidak ada potensi kekecewaan sekecil apapun ketika kita mencoba
untuk mencurahkan Cinta kita kepada Allah. Allah berfirman dalam Kitabnya yang
suci “Qul nahbithuu minhaa jamii’an faimmaa ya’tiyannakum minnii hudaa faman
tabi’a hudaaya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun” (Al Baqarah:38) “Kami berfirman Turunlah kamu semua dari surga itu!
Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti
petunjukKu niscaya tidak ada kekhawatiran diatas mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati” (Al Baqarah:38). Ayat
ini menceritakan ketika Adam dan Hawa serta Iblis diusir oleh Allah dari Surga,
Allah mengatakan bahwa ada obat untuk mengobati kesedihan atas kehilangan surga
itu yaitu ketika datang petunjuk Allah maka ikutilah petunjuk itu. Karena
Petunjuk dari Allah merupakan obat bagi segala kegundahan yang melanda hati
kita. Inilah yang dilakukan oleh Manusia yang masih memiliki pikiran yang
waras, berusaha mengikuti petunjuk Allah yang Allah sampaikan melalui
Rasul-rasul yang Dia utus. Berbeda dengan apa yang dilakukah oleh iblis, dia
selalu tidak mematuhi apa yang Allah perintahkan contohnya ketika Allah
menyuruhnya untuk melakukan sujud pada Adam, dengan pongah dan takabbur dia
menolaknya dan menganggap dirinyalah yang paling mulia.
Dalam menafsirkan Ayat ini Syaikh Nawawi Al Bantani dalam
Tafsirnya yang berjudul Tafsir Munir
mengatakan bahwa ‘Kekhwatiran’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekhawatiran
terhadap apa yang akan terjadi pada diri orang yang taat kepada Allah. Dalam
ayat ini Mereka tidak akan pernah mengalami itu. Sedangkan ‘Kesedihan’ yang
dimaksud dalam ayat ini adalah Kesedihan atas apa yang tidak dapat dia raih
dari keni’matan dunia, karena dunia baginya hanya persinggahan sementara. Suatu
saat dia harus pulang ketempat dimana dia berasal yaitu Kampung Akhirat. Lebih
jauh beliau mengatakan bahwa Tidak adanya Kekhawatiran melambangkan sudah
berkumpulnya seluruh keselamatan dari segala siksa dan marabahaya yang mungkin
akan dilewati oleh setiap hamba diakhirat. Sedangkan hilangnya Kesedihan
merupakan bentuk dari Tersampaikannya seorang hamba kepada sesuatu yang menjadi
dambaannya. Ini menunjukan bahwa siapapun hamba yang taat kepada Allah dengan
segenap kecintaannya maka tidak akan ada Ketakutan dan Kekhawatiran baginya
dalam Alam Kubur, ketika dibangkitkan dari Kubur, ketika dihisab, ketika Kitab
Amal dibuka, dan ketika melewati jembatan ‘Shirathal
Mustaqiim’.
Dalam ayat lain Allah mengatakan “Alaa inna auliyaallahi laa
khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun, alladziina aamanuu wakaanu yattaquun,
lahumul busyraa fil hayaatidunya wafil akhirah laa tabdiila likalimaatillahi
dzaalika huwal fauzul ‘adziim” (Yunus:62-64)
“Ingatlah bahwa sesungguhnya Kekasih-kekasih Allah itu tidak ada ketakutan bagi
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu Orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat—janji-janji—Allah.
Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (Yunus:62-64). Lagi-lagi dalam Kitab Tafsir yang sama, Syaikh
Nawawi Al Bantani mengatakan bahwa Disini terdapat Kriteria yang diharuskan bagi
siapapun yang ingin mendapat predikat ‘Kekasih Allah’. Yaitu mereka harus
beriman atas segala apa yang Allah sampaikan melalui RasulNya, disamping itu
mereka juga harus bertaqwa dalam arti sebenar-benarnya Taqwa yang mengharuskan
setiap hamba untuk Menjauhi segala bentuk dosa dan membersihkan diri dari
segala sesuatu yang dapat memalingkan hati mereka dari Allah, serta harus
dibarengi dengan perasaan ikhlas yang sebenar-benarnya Ikhlas kepada Allah
yaitu dengan menjadikan Allah sebagai motif dari segala bentuk Ibadah yang
mereka lakukan. Bagi mereka yang dapat mencapai prestasi Ibadah seperti ini
Allah berikan kompensasi yang nyata yaitu berupa hilangnya rasa takut serta
kesedihan mereka atas apa-apa yang tidak dan belum mereka dapatkan. Disamping
itu Allah berikan baginya ‘Busyraa’
yang oleh sebagian besar ahli Tafsir diterjemahkan sebagai kabar gembira berupa
Kecintaan Manusia lain kepada mereka didunia. Yang lain menafsirkannya sebagai
Impian yang menjadi kenyataan. Ada juga yang menafsirkan sebagai berita gembira
yang disampaikan oleh Malaikat ketika mereka menghadapi Kematian. Yang lain
menafsirkannya sebagai Kegembiraan yang dialami setiap hamba ketika menerima
Buku Catatan Amal dengan tangan kanannya.
Dalam Kitab Tafsirnya yang berjudul Tafsir Qur’anul ‘Adziim atau lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ismail bin Katsir
mengetengahkan banyak Hadist dalam mengomentari Busyraa ini dengan berbagai jalur Riwayat yang berbeda namun
Penulis hanya akan menyampaikan satu Hadist saja. “Inna Risaalah wan nubuwwah
qad inqatha’at falaa rasuula min ba’dii walaa nabiyya” Fasyaqqa ‘alannaas
Faqaala “Walaakinnal Mubasysyiraat” Qaluu Yaa Rasulallah Wamal Mubasysyiraat
faqaala “Ru’yaar rajulil muslimi wahiya juzun min ajzaainnubawwah” (Al Hadist) “Sesungguhnya Risalah dan
Kenabian sudah terputus” kemudian perkataan Nabi itu menjadikan para sahabat
menjadi gusar Rasul pun berkata “Akan tetapi ada ‘Mubasysyiraat” Para sahabat
kemudian bertanya apa itu Mubasysyiraat. Rasul pun menjawab “Itu adalah impian
seorang muslim yang menjadi nyata, dan itu adalah bagian dari banyak bagian
yang menyusun Kenabian” (Al Hadist).
Inilah yang akan Allah berikan bagi mereka yang ingin menjadi ‘Kekasih Allah’
atau lebih dikenal dengan Waliyullah.
Cinta terbalas Cinta
adalah ungkapan yang tepat untuk melukiskan uraian diatas yaitu ketika kita
sebagai hamba mencurahkan cinta suci kita kepada Allah dengan menggunakan
segenap waktu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah maka sudah menjadi
keniscayaan Allah akan membalas cinta itu dengan berbahagai hal yang tak pernah
kita duga. Dalam hal ini Allah berkata “Waman yattaqillaha yaj’al lahuu
makhraja, wayarzuqhu min hitsu laa yahtasib waman yatawakkal ‘alalahu fahuwa
hasbuhu innallaha baalighu amrihii qad ja’alallahu likulli syaiin qadraa” (At Thalaaq:2-3) “Barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah maka Allah akan jadikan baginya jalan keluar dari segala
urusan. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan
barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan segala
kebutuhannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakinya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ukuran bagi setiap sesuatu” (At Thalaaq:2-3). Ini merupakan jaminan
dari Allah bagi siapapun yang bertekad untuk menjalankan ketaqwaan yang
dilandasi Cinta kepada Allah dalam hidupnya. Maka dia tidak usah khawatir dan
bersedih karena segala sesuatunya telah diatur oleh Allah. Jadi tunggu apa
lagi? Cepatlah curahkan Cinta kita kepada Dzat yang pantas menerimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar