Bagi sebagian orang kata ‘Cinta’ bisa
membawa mereka berselancar dalam ombak melankolisme dan seolah semua lagu yang berbau cinta dapat menjadi soundtrack hidup mereka, akan tetapi
penulis tidak termasuk kedalam sebagian orang itu. Mungkin dikarenakan penulis
kurang peduli terhadap hal yang bersifat roman picisan. Apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan Cinta itu? Sayangnya tidak ada satu pun disiplin ilmu yang
mampu memberikan definisi tentang apa itu cinta. Kalaupun ada itu hanya ada
dalam Ilmu Tashawuf dan itu pun hanya berupa pendekatan yang coba dilakukan
oleh para Shufi yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang
kentara. Menurut penulis ini dikarenakan
‘Cinta’ adalah sebuah realita empirik yang memiliki tingkat subjektifitas yang
begitu tinggi sehingga masing-masing individu memiliki interpretasi tersendiri
terhadap makhluk yang bernama ‘Cinta’ itu.
Begitu luar biasanya Cinta itu sampai-sampai dapat menjadi
‘sihir’ bagi siapapun yang mengalaminya. Seorang yang bermental preman mendadak
bisa menjadi melow karena sihir itu.
Kalau penulis meminjam istilah Gombloh, dia mengatakan “Jika Cinta sudah
melekat, Tai kotok terasa coklat”. Jika kita mengejar istilah Gombloh itu
dengan menggunakan logika, maka kita akan timbul pertanyaan dalam benak kita
bahwa “Lho? Mengapa bisa seperti itu? Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?
Lantas mengapa bisa mempunyai rasa yang sama?” mungkin dari sini kita dapat
menarik sebuah pemahaman bahwa Cinta adalah sugesti yang berada diluar logika.
Ketika bicara Cinta maka logika terpinggirkan. Benarkah demikian? Kalau begitu
persis dengan sebuah judul lagu yang dibawakan oleh penyanyi Agnes Monica “Tak
ada Logika”
Lantas bisakah kita bermain Cinta dengan menggunakan Logika? Mengapa
Tidak? Jangan hanya karena mengatasnamakan cinta kemudian kita terperangkap
dalam suasana yang malah kontraproduktif terhadap kehidupan kita sebagai
manusia. Misalnya karena putus cinta atau Kita menyatakan cinta pada seseorang
namun Dayung itu tak bersambut—Dengan kata lain ditolak—Kemudian kita berasumsi
seolah dunia ini sudah berakhir. Hi come
on! Life must go on. Inilah yang menurut penulis adalah salah satu dampak
negatif Cinta yang berlebihan kepada Makhluk. Mencintai sesuatu yang belum
tentu membalas Cinta kita dan kalau pun membalas terkadang tidak disertai
ketulusan atau hanya menyajikan “Status Palsu” bagi kita seperti sebuah Lagu
yang dinyanyikan oleh Vidi Aldiano. Lantas kepada siapakah kita harus mencinta
dan kita sudah mendapat jaminan bahwa cinta kita akan terbalas?.
Ada Sang Pecinta sejati. Meskipun yang Dia cintai tidak
mencintai Dia tapi Dia tetap mencinta. Dia tidak mengurangi jumlah hembusan
nafas mereka walaupun mereka tidak mencintaiNya. Dia tidak mengurangi takaran
rejeki mereka walaupun mereka tidak membuktikan kesetiaan kepadaNya. Dia tidak
cepat marah walaupun mereka banyak berpaling dariNya. Dia tidak lekas cemburu
walaupun hamba yang Dia cintai lebih mempedulikan selainNya. Dia selalu membuka
pintu maaf bagi hamba yang ingin kembali padaNya dan menyimpan kembali Cinta
yang seharusnya itu pada tempatnya.
Dialah Allah yang apabila kita menaruh rasa cinta tulus kita
kepadaNya, Dia tidak akan pernah menolaknya. Dia yang selalu membalas Cinta
hambaNya lebih besar dari yang hambaNya berikan. Dia adalah Penawar dikala hati
gundah dan Penabur kalbu dikala hati rindu. Dia adalah tempat mengadu jika
hidup terasa tak syahdu. Dia selalu setia meski terkadang banyak hamba yang
mengaku mencintaiNya malah mengkhianatiNya. Dialah Allah Tuhan semesta alam
yang mengadakan kita dari ketiadaan. Dialah Allah Rabb sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar